Bisakah Uang Membeli Kebahagiaan?
https://www.belajarsampaimati.com/2020/04/bisakah-uang-membeli-kebahagiaan.html?m=0
Ilustrasi/tribunnews.com |
Tetapi, benarkah uang tidak bisa membeli kebahagiaan?
Ada orang-orang yang menikmati kebahagiaan dengan makan enak di restoran mahal, dan itu jelas butuh uang. Ada yang menikmati kebahagiaan dengan traveling ke luar negeri, dan lagi-lagi butuh uang. Bahkan untuk sekadar bahagia menikmati film yang mengasyikkan saja, kita butuh uang untuk membayar tiket, atau membayar biaya langganan streaming. Jika ukurannya seperti ini, uang tampaknya bisa membeli kebahagiaan.
Sekarang, mari kita melihat hal ini secara lebih objektif, untuk melihat apakah uang benar-benar bisa membeli kebahagiaan, ataukah tidak. Dalam hal ini, kita bisa membuka penelitian di Jepang, yang hasilnya dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences.
Para peneliti di Jepang ingin tahu apakah uang benar-benar bisa memberikan kebahagiaan bagi pemiliknya, dan benarkah perilaku altruisme (pemberian tanpa pamrih pada orang lain) mampu memberikan efek kebahagiaan yang lama, sebagaimana yang pernah ditemukan dalam penelitian sebelumnya.
Untuk menjawab pertanyaan itu, mereka mengumpulkan 300 mahasiswa, yang dipilih dengan kondisi dan latar belakang serupa, dan menawari mereka dua hadiah yang berbeda.
Hadiah A, peneliti akan memberikan 100 euro (sekitar Rp1,6 juta) untuk diri sendiri, dan si mahasiswa bebas menggunakannya untuk kepentingannya sendiri. Sementara hadiah B, peneliti akan memberikan 350 euro (sekitar Rp5,7 juta) untuk menyelamatkan nyawa orang yang menderita tuberkulosis. Jumlah hadiah B lebih besar dibanding hadiah A, tapi si mahasiswa yang memilihnya tidak bisa memiliki uang itu, karena hadiah tersebut akan disumbangkan untuk orang lain.
Tawaran hadiah A dan B itu menempatkan para mahasiswa pada posisi yang sama, yaitu sama-sama punya kemungkinan memperoleh uang yang sebelumnya bukan milik mereka. Bedanya, mereka bisa memilih jumlah yang kecil untuk diri sendiri (hadiah A), atau jumlah yang besar tapi untuk membantu orang lain (hadiah B).
Orang yang memilih hadiah A mungkin terkesan egois, sementara orang yang memilih hadiah B mencerminkan jiwa altruis. Kenyataannya, sekitar 60 persen dari para mahasiswa yang menjadi responden penelitian ini memilih hadiah B, yang menunjukkan sebagian besar mereka berjiwa altruistik. Sementara 40 persen sisanya memilih hadiah A, dan mengantongi uang itu untuk diri sendiri.
Dalam penelitian tersebut, tim peneliti mengeluarkan uang untuk membayar (memberi hadiah) untuk para mahasiswa yang memilih hadiah A senilai total 40.764 euro, dan mendonasikan total 111.300 euro untuk yayasan yang menanggulangi tuberkulosis.
Para mahasiswa yang memilih hadiah B, yang memberikan uangnya untuk menolong orang lain, menunjukkan perasaan puas diri dan bahagia dengan pilihan mereka. Begitu pula dengan para mahasiswa yang memilih hadiah A, yang mengantongi uang hadiah untuk diri sendiri.
Satu bulan kemudian, para peneliti kembali mengumpulkan 300 mahasiswa itu, dan mewancarai mereka secara pribadi. Satu per satu terungkap, tingkat kebahagiaan para mahasiswa yang memilih hadiah B ternyata telah menguap, atau setidaknya lebih rendah, dibandingkan para mahasiswa yang memilih hadiah A. Mereka yang menyumbangkan uang jadi kurang bahagia, dibandingkan orang yang menyimpan uang hadiah itu untuk diri sendiri.
Dalam hasil studi yang dipublikasikan, peneliti menulis, “Perilaku prososial tidak secara tegas meningkatkan kebahagiaan. Karena pengeluaran prososial secara alami membuat kita melepaskan sesuatu yang lain, yang dapat mengurangi kebahagiaan dengan sendirinya.”
Hasil penelitian ini bisa jadi bertolak belakang dengan sejumlah penelitian sebelumnya, yang menyebut bahwa membantu orang lain (dengan memberikan uang kita) dapat merangsang otak untuk meminimalisir stres, depresi, kerusakan kognitif, dan memanjangkan umur.
Hmm... bagaimana menurutmu?