Mengapa dan Bagaimana Kemiskinan Bisa Terjadi di Dunia?
https://www.belajarsampaimati.com/2020/03/kemiskinan.html
Ilustrasi/dictio.id |
Jika kemiskinan adalah persoalan yang telah ada sejak ribuan tahun lalu, kenapa masalah ini tak pernah terpecahkan? Kenapa, selama ribuan tahun, selalu ada kemiskinan dan orang-orang yang terjerat kemelaratan di mana-mana?
Dalam perspektif saya, pertanyaan itu membutuhkan jawaban panjang, yang bisa jadi juga saling tumpang tindih. Menanyakan kenapa kemiskinan terus ada, bisa menghasilkan aneka jawaban berbeda, tergantung pada siapa kita bertanya. Agar lebih mudah, mari gunakan ilustrasi.
Kalau kita bertanya pada aktivis sosial, misalnya, kenapa kemiskinan bisa terjadi, kemungkinan besar mereka akan menjawab bahwa akar kemiskinan adalah sistem yang rusak. Orang-orang terjerat kemiskinan bukan karena mereka malas bekerja, tapi karena sistem yang ada memang tidak adil terhadap orang-orang miskin. Dengan kata lain, mau bekerja sekeras apa pun, orang miskin akan tetap miskin—karena sistemnya yang rusak.
Dalam contoh yang mudah, sistem yang rusak itu bisa berupa gaji atau bayaran yang sangat minim, padahal pemilik modal atau perusahaan mendapatkan keuntungan sangat besar. Sistem kapitalisme menjadikan para pemilik modal berusaha mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya, dan untuk itu mereka akan memeras keringat para pekerja dengan upah seminimal mungkin. Dalam sistem semacam itu, sampai kapan pun orang miskin akan tetap miskin. Di sisi lain, orang kaya akan terus bertambah kaya.
Selama sistem yang rusak—atau tidak adil—semacam itu terus berlangsung, sampai kapan pun akan selalu ada orang-orang yang dijerat kemelaratan, hingga harus banting tulang untuk sekadar bisa makan, sementara di sisi lain ada orang-orang yang menghambur-hamburkan banyak uang hanya untuk bersenang-senang. Karena sistemnya tidak adil, dampak yang dihasilkan juga sama tidak adil.
Contoh lain, terkait “sistem yang rusak”, adalah sesuatu yang biasa disebut “orang dalam”, koneksi, atau adanya privilese tertentu yang memungkinkan seseorang (lebih) mudah mendapatkan suatu posisi atau pekerjaan, meski mungkin tidak memiliki kompetensi yang layak.
Nepotisme adalah bagian dari sistem apa pun yang rusak. Di dunia politik maupun di dunia kerja. Di dunia politik, anak pejabat bisa mudah masuk ke BUMN, misalnya, dan menjabat posisi tertentu. Di dunia kerja yang lebih luas, kita bisa saja mendapatkan pekerjaan bagus di suatu perusahaan karena adanya koneksi orang dalam, terlepas apakah kita memang layak mendapatkannya atau tidak.
Contoh-contoh di atas tentu hanya secuil ilustrasi yang bisa ditimbulkan dari sistem yang rusak dan tidak adil, yang menjadikan kemiskinan terus ada di mana-mana, menjerat jutaan orang, tak peduli mereka sudah kerja keras, banting tulang, peras keringat, siang dan malam. Karena masalah sebenarnya bukan pada orang-orang miskin tersebut, tapi pada sistem yang membelit mereka.
Itu kira-kira jawaban yang akan disampaikan aktivis sosial, jika kita bertanya soal penyebab kemiskinan. Jika kita sepakat dengan jawaban mereka, maka kita membutuhkan solusi yang sangat besar sekaligus berat, yakni revolusi. Untuk menumbangkan sistem yang rusak dan tak adil, yang telah memiskinkan jutaan orang di mana pun, kita membutuhkan revolusi sosial... dan politik, tentu saja.
Pertanyaannya, bisakah kita melakukan hal besar semacam itu? Dan kalaupun bisa—karena mungkin ide ini akan didukung jutaan orang—kira-kira bagaimana cara melakukannya?
Itu jawaban pertama, terkait asal usul kemiskinan. Yakni sistem yang tidak adil, karena pemilik modal mendapatkan banyak, sementara para pekerja mendapatkan sedikit. Sekarang, bagaimana kalau kita tanya pada pemilik modal, mengenai penyebab kemiskinan? Kira-kira, apa jawaban mereka?
Jika kita bertanya pada bos-bos perusahaan atau pemilik modal, mengapa ada kemiskinan di muka bumi, jawaban mereka bisa diprediksi, “Kalian malas kerja!”
Malas kerja, itulah jawaban yang akan kita dengar dari mulut para pemilik modal, atau orang-orang kaya yang memimpin/memiliki perusahaan. Karena jawaban itu akan menutupi sistem yang mereka lembagakan, dan mereka tentu tidak akan mengatakan yang sebenarnya mengapa mereka kaya-raya sementara kita miskin jelata.
Dalam perspektif mereka, orang akan kaya jika rajin bekerja. Dalam ilustrasi mudah, menurut mereka, orang yang bekerja 15 jam sehari akan mendapat penghasilan lebih besar dibanding orang lain yang hanya bekerja 8 jam sehari. Orang yang bekerja 7 hari seminggu akan mendapat uang lebih banyak dibanding orang yang hanya bekerja 5 hari seminggu. Logika yang sederhana.
“Tapi kebanyakan orang lebih suka mager!” kata Elon Musk.
“Dan leyeh-leyeh sambil mengkhayal,” sambung Jack Ma.
“Mereka bahkan menganggap rebahan sebagai aktivitas hebat,” ujar Jeff Bezos.
Lalu Bill Gates mengatakan sesuatu yang ingin dikatakan ketiganya, “Orang-orang miskin berharap kaya, tapi mereka malas kerja!”
Karena itu pula, atasan atau bos kita kerap meminta kita bekerja lembur, dan kalau bisa tidak pernah libur. Karena kerja keras akan membuatmu kaya!
Sayangnya, itu mungkin benar bagi mereka, tapi belum tentu benar bagi kita. Karena, yang menjadi masalah sebenarnya bukan hanya kinerja kita, tapi juga adanya sistem yang tidak adil. Di bawah kungkungan sistem yang tidak adil, kita akan terbentur pada penghasilan yang terus “mentok”—tidak bisa lebih banyak lagi—karena sistem itu menyerupai dinding beku yang menghalangi. Ini jelas membuat siapa pun frustrasi.
Sekarang, bagaimana kalau kita menanyakan persoalan ini—penyebab kemiskinan—kepada pihak lain yang lebih netral, misalnya pendidik atau pakar pengembangan diri? Kira-kira apa jawaban mereka?
Sesuai latar belakang mereka sebagai pendidik atau pakar pengembangan diri, mereka pun kemungkinan besar akan menjawab berdasarkan disiplin ilmu mereka. Pendidikan, kata mereka, adalah faktor penting yang menjadikan seseorang sukses atau tidak. Dalam hal ini, sukses identik—atau diidentikkan—dengan kaya, dan tidak sukses artinya miskin.
Tak bisa dipungkiri, pendidikan memang memiliki andil dalam kesuksesan seseorang, khususnya di dunia kerja. Dalam ilustrasi mudah, orang yang memiliki pendidikan sarjana, misalnya, tentu memiliki peluang yang lebih banyak, dibandingkan orang yang hanya lulus SMA.
Bukan hanya tingkat pendidikan, di mana kita mendapatkan pendidikan juga sering ikut menentukan. Lulusan universitas terkenal atau universitas luar negeri, misalnya, sering lebih mudah mendapat kerja, dibanding sarjana lulusan universitas dalam negeri, apalagi yang tidak terkenal. Karenanya, menurut pakar pengembangan diri, pendidikan adalah kunci untuk keluar dari kemiskinan.
Tentu kita sepakat bahwa pendidikan adalah hal penting, bahkan ikut menentukan kesuksesan seseorang, lebih khusus untuk keluar dari jerat kemiskinan. Yang jadi masalah, bagaimana kita bisa mendapat pendidikan yang baik—lebih khusus sampai tingkat tinggi, apalagi di universitas terkenal—jika untuk makan sehari-hari saja sudah susah?
Di luar itu, kita tahu, ada banyak sarjana yang menganggur, tidak mendapat kerja—atau mendapat pekerjaan yang tidak sesuai bidang pendidikan mereka, dan mendapat upah pas-pasan—dan kenyataan itu seperti mementahkan anggapan bahwa pendidikan adalah kunci penting untuk keluar dari jerat kemiskinan.
Jika pendidikan memang dapat mengantarkan seseorang pada kesuksesan—atau dengan kata lain, kekayaan—kenapa ada banyak orang terdidik yang justru menganggur atau kesulitan mendapat kerja?
Selain itu, di sisi lain, ada orang-orang yang bisa dibilang tidak terdidik—karena memang tidak mendapat pendidikan sampai tingkat tinggi—tapi sukses dan kaya, misalnya karena menekuni usaha hingga membangun bisnis. Secara pendidikan, mereka mungkin hanya lulusan SMA, atau malah lebih rendah, tapi mereka bisa keluar dari kemiskinan dan menjadi kaya.
Omong-omong soal pendidikan. Dalam perspektif saya, pendidikan formal (yang menghasilkan gelar akademis) memang penting, tapi pendidikan informal atau nonformal juga sama penting. Di luar pendidikan formal, kita bisa mendidik diri sendiri dengan bacaan-bacaan yang bagus dan membangun, yang meluaskan wawasan dan pengetahuan. Karenanya, kalau kita memang tidak bisa mendapat pendidikan formal disebabkan kondisi keuangan, kita bisa mendidik diri sendiri.
Bertambahnya wawasan, perspektif, dan pengetahuan, bisa membantu kita menjalani kehidupan dengan lebih baik, dan, siapa tahu, bisa mengantarkan kita pada kesuksesan tertentu. Ini memang bukan jaminan, tapi setidaknya—khususnya bagi saya—adalah cara paling masuk akal yang mungkin bisa kita tempuh untuk keluar dari jerat kemiskinan.
Kita mungkin sepakat bahwa penyebab kemiskinan global adalah sistem yang rusak dan tidak adil, sebagaimana yang telah diuraikan tadi. Tapi jika kita hanya berfokus pada hal itu, kira-kira apa yang bisa kita lakukan? Solusi paling jelas untuk menumbangkan sistem yang tidak adil adalah revolusi politik dan sosial. Mungkinkah kita melakukan itu? Mohon maaf, kebanyakan orang sering kali hanya bisa mengutuk—sebatas mengutuk—dan saya bertanya-tanya, akan sampai kapan?
Secara pribadi, saya tidak mampu melakukan hal besar semacam membangun revolusi untuk menumbangkan sistem kapitalisme yang rusak dan tidak adil. Karena saya bukan En Sabah Nur... meski sangat ingin menjadi dirinya!
Karena kesadaran atas ketidakmampuan itu pula, saya pun mencari jalan lain. Dalam hal ini, saya menempuhnya lewat pendidikan. Lebih khusus, pendidikan nonformal. Saya mendidik diri dengan sangat keras—sebegitu keras, hingga saya bisa mengatakan bahwa pendidikan saya di kampus tidak ada apa-apanya dibanding pendidikan yang saya tugaskan pada diri sendiri.
Saya pernah kuliah S1, dan aktif di organisasi ekstra kampus. Aktivitas saya di luar kampus itu memberi banyak pelajaran kepada saya—pelajaran yang tidak pernah diberikan di dalam kampus. Salah satunya, saya akhirnya menyadari bahwa gelar akademis tidak menjamin masa depan yang bagus. Buktinya, seperti yang disebut tadi, ada banyak sarjana yang menganggur, atau bekerja dengan upah pas-pasan.
Kesadaran itu menjadikan saya tidak terlalu menggantungkan diri pada kampus atau pada gelar akademis. Buktinya, setelah menyelesaikan semua teori di kampus, dan tidak ada lagi yang bisa saya pelajari di sana, saya memilih drop out, lalu mendidik diri sendiri.
Saya mendidik diri sendiri dengan membaca banyak buku, serta apa saja yang bisa dibaca dan dipelajari. Seiring dengan itu, saya juga memacu diri sendiri untuk giat bekerja. Setidaknya, dari upaya itu, saya bisa keluar dari kemiskinan, dan menjalani kehidupan lebih baik. Saya tidak mampu meruntuhkan dinding beku di luar sana, dan saya juga ingin berhenti mengutuk, jadi saya membangun diri sendiri.
Uraian ini saya paparkan, bukan dengan maksud menjadikan diri saya sebagai model, melainkan sebagai ilustrasi atas apa yang saya maksud. Karenanya, tentu saja, tidak ada jaminan bahwa orang lain akan bisa meniru yang saya lakukan untuk mendapatkan hasil yang sama.
Akhirnya, ada pihak terakhir yang bisa kita tanya mengenai penyebab kemiskinan. Yaitu para ahli agama. Kira-kira, apa jawaban mereka saat kita bertanya mengapa ada orang kaya dan orang miskin?
“Takdir,” mungkin itu jawaban mereka. “Karena kehidupan harus seimbang, dan karena itulah kaya dan miskin berpasang-pasangan. Untuk saling melengkapi. Karena kaya dan miskin sama-sama cobaan bagi setiap manusia, dan Tuhan tidak akan memberikan beban, selain yang bisa kamu tanggung.”
Benar-benar dunia yang ideal, jika memang begitu yang terjadi. Dan umat manusia akan saling bergandeng tangan, saling memberi dan menerima, meringankan beban sesamanya, membasuh keringat dan air mata dengan gandum dan senyuman, lalu bersama menatap matahari yang bersinar. Oh, well, andai saja memang seideal itu yang terjadi.
Uraian ini, meski cukup panjang, mungkin saja masih melewatkan hal-hal lain yang tidak/belum saya uraikan. Karenanya, kalau mungkin ada yang ingin menambahkan sesuatu, atau punya pendapat lain terkait penyebab kemiskinan, atau ada yang ingin mengajak saya kaya-raya bersama, dengan senang hati saya akan menerima.
Hmm... ada yang mau menambahkan?