Bagaimana Sejarah Republik Chad Hingga Terus Berperang?
https://www.belajarsampaimati.com/2019/10/sejarah-republik-chad.html
Ilustrasi/travelingyuk.com |
Seiring waktu, secara bertahap, muncul kerajaan-kerajaan di wilayah tersebut, meski sama-sama kerajaan lemah, dan mereka hidup berdampingan secara rukun. Kerajaan pertama yang tergolong kuat di sana adalah Kekaisaran Kanem-Bornu. Selain besar, mereka juga lebih berkuasa di antara kerajaan-kerajaan lain yang lemah.
Sampai di situ, semuanya baik-baik saja. Wilayah Chad mulai memercikkan api ketika orang-orang asing mulai berdatangan ke sana.
Pada awal Abad Pertengahan, Chad menjadi jalur persilangan para pedagang Muslim dan suku-suku asli. Kesibukan perdagangan itu menarik orang-orang dari luar untuk masuk ke Chad. Sampai kemudian, pada 1900, setelah Pertempuran Kousséri, Chad menjadi bagian sistem kolonial Prancis. Itu menjadi asal usul perang tanpa henti di sana.
Ketika Perang Dunia II meletus, Chad adalah koloni pertama Prancis yang bergabung dengan Prancis dan Sekutu, di bawah kepemimpinan gubernur Félix Éboué. Pada 1960, Chad menjadi negara merdeka, dengan François Tombalbaye sebagai presiden pertama. Tapi bukan berarti Chad kemudian menjadi negara damai.
Setelah meraih kemerdekaan dari Prancis, Chad menjadi negara yang tidak stabil dan penuh kekerasan. Hal itu dilatari oleh ketegangan antara bagian utara yang sebagian besar Arab Muslim, dan bagian selatan yang sebagian besar orang Kristen dan animis.
François Tombalbaye, yang menjadi presiden pertama Chad, adalah orang Kristen dari selatan. Lima tahun setelah ia memerintah, kaum Muslim di utara merasa tidak puas, dan hal itu menyebabkan perang gerilya. Diiringi kemarau parah, kekuasaan François Tombalbaye runtuh pada 1975. Ia bahkan kemudian terbunuh oleh Noël Milarew Odingar.
Kematian presiden François Tombalbaye segera digantikan oleh Jenderal Félix Malloum, yang juga orang selatan. Sayangnya, Malloum juga gagal mengakhiri perang, meskipun ia merangkap jabatan sebagai Perdana Menteri pada 1978, setelah merebutnya dari Hissène Habré, kepala Angkatan Bersenjata Utara.
Setahun kemudian, pada 1979, Jenderal Félix Malloum digantikan oleh orang utara yang didukung Libya, bernama Goukouni Oueddei. Pada saat itu, Chad mulai memasuki masa anarki Perang Saudara.
Pada waktu itulah, Prancis dan Libya ikut campur tangan secara berulang, untuk mendukung satu sisi terhadap lainnya. Libya mendukung kubu Muslim, sementara Prancis mendukung Kubu Kristen.
Pada 1980, Libya menyerang Chad, untuk mengukuhkan Oueddei sebagai presiden di negara itu, dan melanjutkan kebijakan ekspansionis untuk menyatukan Libya dan Chad secara politik. Sebelumnya, orang Libya telah menduduki jalur sempit di daerah yang dikenal sebagai Jalur Aouzou, pada 1972-1973.
Atas hal itu, Prancis dan AS menanggapi dengan membantu Hissène Habré, untuk melawan pengaruh Libya di bawah Muammar Qaddafi. Perang saudara pun meluas. Pada Desember 1980, Libya menduduki semua bagian Chad utara, namun Habré mengalahkan pasukan Libya dan mengusirnya pada November 1981.
Pada 1982, Hissène Habré menaklukkan ibukota Chad, dan mengusir Presiden Oueddei. Setelah itu, Hissène Habré mendapatkan kendali menyeluruh atas negeri itu.
Selama delapan tahun kemudian, Hissène Habré memimpin negara yang penuh huru-hara politik, hingga berbagai organisasi HAM mendakwanya telah memerintahkan hukuman mati atas lawan-lawan politik dan anggota suku yang dianggap sebagai musuh rezimnya.
Pada 1983, pasukan Qaddafi menaklukkan semua bagian Republik Chad, yang ada di utara Koro Toro. Namun, Hissène Habré—dengan bantuan AS dan Prancis—berhasil mengalahkan Libya dalam perang. Pendudukan Libya di utara Koro Toro berakhir saat Habré mengalahkan Qaddafi pada 1987.
Meski memenangkan pertempuran, pemerintahan Habré lemah, dan tak disukai sebagian besar orang Chad. Ia kemudian dijatuhkan oleh pemimpin pemberontak yang didukung Libya, bernama Idriss Déby, pada 1 Desember 1990.
Setelah jatuh dari kekuasaannya, Hissène Habré pergi ke pengasingan, di Senegal. Sementara Idriss Déby mengangkat diri sebagai diktator. Segera setelah itu, sebuah konstitusi ditulis. Dukungan rakyat buat Déby ditunjukkan dalam sebuah pemilu pada Mei 2001, saat ia mengalahkan 6 calon lainnya dengan 67,3% suara. Pemilu itu digambarkan "agak adil", meski tercatat beberapa ketidakteraturan.
Pada 1998, sebuah konflik bersenjata terjadi di utara, dipimpin oleh mantan ketua pertahanan Presiden Déby, Youssouf Togoimi. Sebuah perjanjian perdamaian, yang diperantarai Libya pada 2002, gagal mengakhiri perang itu.
Pada 2003 dan 2004, kerusuhan di kawasan Darfur, Sudan, terciprat ke perbatasan, bersama sekian ribu pengungsi.
Pada 23 Desember 2005, Chad mengumumkan berada dalam "keadaan perang" dengan Sudan. Organisasi Konferensi Islam (OKI) mendesak Sudan dan Chad mengendalikan diri untuk mengurangi ketegangan antara kedua negara yang bertetangga itu.
Pada 8 Februari 2006, Chad dan Sudan menandatangani Persetujuan Tripoli, mengakhiri konflik Chad-Sudan. Persetujuan ini melarang kedua negara memulai gerakan satu sama lain, dan juga larangan campur tangan urusan dalam negeri masing-masing.
Pada 13 April 2006, para pemberontak menyerang ibu kota, mencoba menjatuhkan Presiden Idriss Deby. Angkatan bersenjata pemerintah mengalahkan mereka dalam Pertempuran N'Djamena. Chad kemudian menuduh Sudan mendukung dan melatih para pemberontak itu, dan memperparah hubungan diplomatik di antara kedua negara.
Hmm... ada yang mau menambahkan?