Perjalanan Menulis dari Mesin Tik ke Komputer

Perjalanan Menulis dari Mesin Tik ke Komputer
Ilustrasi/pixabay.com
Komputer telah menjadi benda biasa di zaman ini. Sebegitu biasa, hingga hampir setiap rumah—khususnya di wilayah perkotaan—punya setidaknya satu unit komputer, mirip kepemilikan televisi. Anak-anak SD sampai orang tua telah akrab dengan komputer, dan benda itu membantu aneka keperluan. Dari keperluan kerja, berinternet, mengerjakan tugas sehari-hari, dan lain-lain.

Salah satu fungsi utama komputer adalah untuk menulis. Karenanya, di setiap komputer hampir bisa dipastikan ada aplikasi khusus untuk menulis—yang terkenal, tentu saja, Microsoft Word.

Sebagai pengguna Microsoft Word, dan setiap hari menggunakannya untuk menulis, saya kadang masih takjub dengan “keajaiban” yang bisa ditunjukkannya. Menulis di Microsoft Word benar-benar mudah—maksud saya, benar-benar sangat mudah—karena kita bisa mengubah, menghapus, menulis ulang, dan lain-lain, dengan sangat mudah.

Ada bagian tulisan yang ingin dihapus? Mudah, tinggal pencet “Delete” di keyboard, dan bekas yang dihapus tidak akan terlihat sama sekali. Mau mengoreksi tulisan yang sudah jadi? Juga mudah, karena komputer—khususnya Microsoft Word—memungkinkan hal itu dengan sangat mudah. Mau memperbesar atau memperkecil tulisan? Mau menempatkan tulisan di bagian tengah, pinggir, dan lain-lain? Semua bisa dilakukan dengan sangat mudah. Hampir seperti sim salabim!

Karenanya, saya kadang masih takjub dengan semua kemudahan itu, khususnya jika mengingat sekian tahun lalu, ketika menulis menggunakan mesin tik.

Yang bisa dilakukan mesin tik hanyalah mencetak huruf-huruf dan angka di kertas, plus dengan berbagai tanda baca. Selebihnya, kita harus menggunakan keterampilan yang kita miliki untuk dapat benar-benar menggunakannya.

Izinkan saya menceritakan bagaimana repot dan ribetnya menulis di mesin tik.

Pertama-tama, tentu saja, kita harus punya mesin tik! Berbeda dengan komputer zaman sekarang yang dimiliki hampir setiap rumah, di masa dulu mesin tik dianggap barang mewah—atau tertier—karena tidak setiap orang membutuhkan. Hanya kalangan tertentu yang punya mesin tik di rumahnya, biasanya para eksekutif perusahaan, pekerja kantoran, atau bocah-bocah yang bermimpi jadi penulis. Saya termasuk yang terakhir.

Sebelum menulis di mesin tik, kita harus menyiapkan dua hal penting. Pertama adalah pita mesin tik, dan kedua adalah kertas putih yang biasa disebut HVS. Pita mesin tik berfungsi mencetak huruf-huruf di kertas. Tanpa ada pita, huruf-huruf yang kita pencet di tuts mesin tik tidak akan tercetak di kertas. Jika ini sudah terdengar ribet, kalian harus mendengar lanjutannya.

Seperti yang disebut tadi, mesin tik hanya mampu mencetak huruf-huruf dan angka di lembar kertas. Selebihnya, kitalah yang mengendalikan seratus persen—secara manual.

Bagaimana agar kalimat judul berada di bagian tengah kertas? Bagaimana agar semua bagian tulisan rata di bagian kanan maupun kiri? Bagaimana kalau ada huruf yang salah pencet atau salah ketik? Bagaimana kalau ternyata ada bagian kalimat yang keliru, dan kita ingin menghilangkannya? Bagaimana menambahkan nomor halaman pada kertas yang kita ketik?

Semua pertanyaan itu, dan berbagai pertanyaan lain terkait penulisan, harus kita cari sendiri jawabannya, berdasarkan keterampilan yang kita miliki. Tidak ada bantuan mesin pintar sebagaimana komputer yang memungkinkan Undo, Delete, atau klik lain dengan mudah. Karenanya, menulis (mengetik) di mesin tik bisa membuat frustrasi. Karena nyatanya memang susah dan ribet.

Para penulis di zaman mesin tik, konon, harus menyiapkan tumpukan kertas HVS dalam jumlah bejibun, sebagai antisipasi kalau ada bagian yang salah ketik. Ketika itu terjadi, mereka biasanya akan mencabut kertas dari mesin tik, dan memasukkan kertas baru, lalu mulai mengetik lagi dari awal. Kalau ada kekeliruan lagi, mereka cabut lagi kertas itu, dan masukkan kertas baru, dan mulai mengetik dari awal lagi. Baru mendengarnya saja, sebagian orang mungkin sudah stres!

Bagi yang duitnya pas-pasan, yang tidak mungkin menghambur-hamburkan kertas dengan mudah, biasanya akan melengkapi diri dengan cairan penghapus (yang populer disebut tip-ex atau stipo—keduanya sebenarnya nama merek).

Belakangan, tip-ex memproduksi penghapus khusus untuk kebutuhan mesin tik. Bentuknya lembaran kertas kecil, yang bisa kita sisipkan pada bagian huruf yang salah ketik, lalu lembaran tip-ex itu akan “menutupi” huruf yang salah ketik untuk ditimpa huruf baru.

Ribetnya ngujubilah setan!

Oh, itu saja belum cukup. Berbeda dengan komputer, mesin tik menghasilkan suara yang cukup keras. Kalau kita mengetik pada malam hari, suara mesin tik bisa terdengar dari rumah-rumah tetangga. Beberapa orang yang “kreatif” mengatasi masalah itu dengan cara meletakkan bantal di bawah mesin tik, untuk meredam suara yang ditimbulkan mesin purba tersebut.

Di masa itu, saya membutuhkan waktu berjam-jam hanya untuk mengetik di selembar kertas. Karena sangat berhati-hati agar tidak salah ketik, karena ribet memasukkan kertas tip-ex pada bagian yang salah ketik, karena harus menghitung “rumus” agar beberapa kalimat benar-benar ada di bagian tengah halaman kertas, sampai mengusahakan agar bagian tulisan bisa rata kanan-kiri. Semua itu benar-benar membutuhkan kesabaran setingkat nabi!

Karenanya, kini, ketika menulis di komputer, saya kadang masih takjub dengan kemampuan dan kehebatan yang dihasilkannya.

Menulis di komputer, bagi saya, sejuta kali lebih mudah dibandingkan menulis di mesin tik. Yang perlu saya lakukan hanya memikirkan apa yang akan saya tulis, dan komputer akan membereskan urusan selanjutnya. Dari keperluan menghapus bagian yang salah, memperbesar atau memperkecil ukuran tulisan, menempatkannya di tengah, rata kanan-kiri, dan lain-lain. Dan semuanya bisa dilakukan tanpa harus menimbulkan suara bising seperti mesin tik! Ini benar-benar hebat!

Bagi orang-orang yang tidak pernah menjamah mesin tik, komputer mungkin tampak seperti benda biasa—tidak ada hebat-hebatnya. Tapi bagi yang pernah mengalami bagaimana sulit dan ribetnya menulis di mesin tik, komputer adalah keajaiban!

Well, di masa saya menulis di mesin tik, sebenarnya komputer sudah ada. Bahkan di SMA saya waktu itu ada pelajaran komputer, yang praktiknya menulis di komputer. Tapi komputer di zaman itu masih sangat “kuno”—layarnya hitam legam, bentuk huruf atau font yang tercetak di layar komputer masih kaku, dan proses penggunaannya juga masih ribet tak karuan.

Di atas semuanya, komputer di zaman itu masih merupakan barang super mewah, yang jelas tidak akan terbeli bagi bocah seperti saya!

Belakangan, zaman berubah, dan mesin tik mulai ditinggalkan, setelah layanan jasa pengetikan komputer mulai bermunculan, sampai ada rental khusus komputer untuk keperluan menulis di komputer. Saya akan menuliskannya di catatan mendatang.

Related

Iptek 7631873390041935350

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item