Kapan Penggunaan DNA untuk Identifikasi Kejahatan Dimulai?

Kapan Penggunaan DNA untuk Identifikasi Kejahatan Dimulai?
Ilustrasi/time.com
Dalam menyelidiki suatu kasus kejahatan yang pelakunya tidak/belum diketahui, berbagai teknik digunakan. Dari identifikasi sidik jari, sampai, belakangan, identifikasi DNA.

Dalam kasus-kasus semisal pembunuhan atau perkosaan, pelaku kadang tidak diketahui. Bisa karena korbannya tidak mengenali si pelaku, bisa pula karena korban kejahatan tewas di tempat. Dalam hal itulah, identifikasi—dari sidik jari sampai DNA—menjadi penting, untuk menemukan pelakunya.

Dalam melacak pelaku kejahatan, ilmuwan forensik biasanya menggunakan DNA yang terdapat pada darah, sperma, kulit, liur, atau rambut yang tersisa di tempat kejadian kejahatan. Proses semacam itu disebut fingerprinting genetika, atau pemrofilan DNA (DNA profiling).

Dalam pemrofilan DNA, panjang relatif dari bagian DNA yang berulang, seperti short tandem repeats dan minisatelit, dibandingkan.

Pemrofilan DNA dikembangkan pada 1984 oleh ilmuwan genetika asal Inggris, Alec Jeffreys dari Universitas Leicester, dan pertama kali digunakan untuk mendakwa Colin Pitchfork pada 1988, dalam kasus pembunuhan Enderby di Leicestershire, Inggris.

Belakangan, DNA para pelaku kejahatan dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam database komputer. Tujuannya untuk membantu para investigator untuk menyelesaikan kasus lama yang belum terungkap, sampai untuk mengenali kemungkinan residivis (kriminal yang mengulangi kejahatannya).

Identifikasi DNA untuk melacak pelaku kejahatan menjadi salah satu metode yang terpercaya, meski tidak selalu berhasil. Misalnya, tidak ada bukti temuan DNA yang diperoleh di lokasi kejahatan, atau tempat terjadinya kejahatan telah terkontaminasi banyak orang.

Hmm... ada yang mau menambahkan?

Related

Sains 8873007095166215358

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item