Negara Mana yang Sukses Memberantas Buta Huruf?

Negara Mana yang Sukses Memberantas Buta Huruf?
Kuba/mawista.com
Pada saat ini, diperkirakan masih ada 771 juta orang yang masih buta huruf di seluruh dunia, dan berbagai negara pun terus berupaya mengurangi jumlah itu dengan berbagai program dan upaya.

Jika menengok sejarah keberhasilan pemberantasan buta huruf yang pernah dilakukan beberapa negara semisal Kuba, Bolivia, Soviet, atau Venezuela, sangat tampak bahwa tingkat keberhasilan program itu berbanding lurus dengan keikutsertaan pemerintah yang sangat aktif dalam penggalakannya. Berikut ini ilustrasi negara-negara yang pernah dianggap sangat sukses dalam memberantas buta huruf.

Uni Soviet

Setelah kaum revolusioner berhasil menggulingkan rezim Tsar melalui revolusi, program pemberantasan buta huruf menjadi prioritas pemerintahan revolusioner. Lenin menyatakan, “Selama di negeri kita masih ada buta huruf, sulit untuk bicara pendidikan politik.”

Didorong kesadaran itulah, Uni Soviet melancarkan program dan kampanye pemberantasan buta huruf, meski waktu itu situasi dan kondisi politik sama sekali tidak stabil. Upaya pemberantasan buta huruf ditujukan untuk segala kalangan—anak-anak, remaja, pekerja, petani, sampai tentara. Untuk menunjang upaya tersebut, Uni Soviet menggratiskan biaya pendidikan.

Pada tahun pertama kampanye tersebut, sebanyak 5 juta orang telah keluar dari buta huruf. Kenyataan itu sangat mengesankan, mengingat kondisi di Soviet waktu itu tidak bisa dibilang stabil. Yang paling banyak terbebas dari buta huruf adalah kalangan pekerja dan tentara merah.

Pada 1924, sebanyak 99 persen pekerja telah terbebas dari buta huruf, dan di kalangan tentara merah terjadi penurunan drastis—dari yang semula 50 persen buta huruf menjadi tinggal 14 persen.

Kuba

Sebelum Revolusi Kuba pada 1959, sebanyak 50 persen anak-anak di Kuba tidak pernah menyentuh bangku sekolah. Sebanyak 72 persen anak-anak berusia 13-19 tahun tidak bisa melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah, dan ada sekitar 1 juta orang rakyat Kuba yang masih buta huruf.

Menanggapi kenyataan itu, Fidel Castro menyatakan di forum PBB, “Tahun depan, rakyat kami akan melancarkan perang habis-habisan terhadap buta huruf, dengan tujuan besar mengajari setiap orang untuk membaca dan menulis.”

Hanya dalam waktu 9 bulan, pernyataan Fidel Castro mulai menampakkan wujud buktinya. Pada 1961, lebih dari 1 juta orang Kuba dimobilisasi untuk mengajari rakyat negeri itu mengenali aksara. Mereka pergi ke pelosok-pelosok Kuba, membebaskan rakyat dari belenggu buta huruf.

Pada waktu itu, lebih dari 700.000 rakyat Kuba aktif belajar membaca dan menulis. Karenanya, dalam waktu singkat, tingkat buta huruf di sana menurun drastis, dari 21 persen menjadi 3,9 persen.

Metode pemberantasan buta huruf di Kuba disebut “Yo sí Puedo”, (Yes, I can atau Ya, aku bisa). Pada waktu itu, para pengajar atau instruktur buta huruf hidup di tengah-tengah rakyat. Mereka tinggal dan tidur di rumah-rumah petani. Siang hari, mereka turut bekerja di sawah atau ladang, sedang sore harinya mereka membuka kelas untuk belajar.

Upaya itu menghidupkan semangat positif di mana-mana. Di ladang-ladang, di pabrik-pabrik, dan di mana saja, berkumandang slogan, “Setiap orang Kuba adalah guru, dan setiap rumah adalah sekolah.”

Dalam catatan PBB, sebanyak 100 persen orang Kuba berusia 15-24 tahun, lelaki dan perempuan, sudah melek huruf. Sebanyak 96,2 persen anak-anak usia sekolah dasar telah terdaftar. Pada 2004, sebanyak 92,6 persen anak-anak tersebut telah berhasil menyelesaikan pendidikan dasar. Bahkan, dalam peringkat UNESCO, Kuba menempati urutan 10 dari 125 negara dalam hal melek huruf.

Venezuela

Dari 26 juta penduduk di Venezuela, sebanyak 1,5 juta di antaranya buta huruf. Kenyataan itu berubah drastis setelah Hugo Chavez terpilih menjadi presiden Venezuela pada 1998.

Sebelumnya, tiga presiden terdahulu telah membuat program pemberantasan buta huruf, yaitu Jaime Lusinchi, Carlos Andrés Pérez, dan Rafael Caldera. Namun upaya ketiganya bisa dibilang tidak terlalu berhasil. Ketika Chavez menjadi presiden, dia melancarkan program pemberantasan buta huruf yang sama, dan dalam waktu setahun sejak program itu diluncurkan sebanyak 100.000 orang terbebas dari buta huruf.

Namun, Chavez menganggap kampanye awal itu gagal mencapai target. Setelah melakukan evaluasi terhadap program sebelumnya, Chavez kemudian meluncurkan kembali program pemberantasan buta huruf pada 2003, yang lebih difokuskan pada mobilisasi warga.

Program itu disebut “Simón Rodríguez”, lalu berganti nama menjadi “Misión Robinson” (Misi Robinson), yang menargetkan bisa mengajari sejuta rakyat Venezuela membaca dan menulis dalam waktu setahun.

Mirip program yang dilaksanakan di Kuba, kampanye pemberantasan buta huruf di Venezuela juga melibatkan banyak warga. Mereka mengajari rakyat di mana-mana, hidup di tengah-tengah mereka, dan belajar bersama di mana pun. Hasilnya, dalam waktu 2 tahun sebanyak 1,5 juta penduduk Venezuela dapat keluar dari buta huruf. Pada 2005, UNESCO mengumumkan, “Venezuela telah menjadi wilayah bebas buta huruf.”

Misi Robinson yang digagas di Venezuela tidak berhenti setelah berhasil mengajari rakyat Venezuela membaca dan menulis, tetapi berlanjut menjadi pendidikan dasar (Robinson I) dan lingkaran membaca (Robinson II). Dengan begitu, para peserta bisa melanjutkan pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh.

Pemerintah Venezuela juga sangat memperhatikan hal tersebut dengan memberikan fasilitas. Sejak 2003-2010, setidaknya ada 80 juta terbitan baru yang didistribusikan massal untuk rakyat. Melalui semua bacaan gratis itu, rakyat Venezuela dapat mempraktikkan kemampuan baca tulisnya dengan mudah, sehingga pengetahuan mereka terus meningkat dan bertambah. 

Nikaragua

Sebelum Revolusi Sandinista pada 1979, tingkat buta huruf di Nikaragua mencapai 52 persen. Di daerah pedesaan bahkan angkanya diperkirakan mencapai 75 hingga 90 persen. Satu tahun setelah revolusi, pada 1980, pemerintahan Sandinista melancarkan kampanye pembebasan buta huruf pertama.

Waktu itu, lebih dari 90.000 relawan, sebagian besar perempuan muda, terlibat dalam kampanye tersebut. Mereka terjun ke desa-desa, ke pabrik-pabrik, untuk mengajar rakyat membaca dan menulis.

Hanya dalam waktu satu tahun, pemerintahan Sandinista telah berhasil mengurangi buta huruf dari 52 persen menjadi hanya 12,9 persen. Hasil yang mengesankan itu masih terus dilanjutkan pada beberapa tahun setelahnya, hingga jumlah buta huruf di Nikaragua bisa ditekan sampai di bawah 5 persen. Untuk prestasi tersebut, UNESCO memberikan “Nadezhda K. Krupskaya Award” kepada Nikaragua.

Bolivia

Ketika terpilih menjadi presiden Bolivia pada 2006, program penting yang dilancarkan oleh Evo Morales adalah kampanye pemberantasan buta huruf. Hal itu dilatari kenyataan bahwa dari sekitar 10 juta penduduk Bolivia, sebanyak 1,2 juta di antaranya tidak bisa membaca dan menulis.

Dengan mengadopsi metode pemberantasan buta huruf di Kuba, Evo Morales memobilisasi rakyatnya untuk bekerjasama memerangi buta huruf. Setelah bekerja intensif selama 33 bulan, sebanyak 820.264 orang telah lulus dari pelatihan membaca dan menulis.

Seiring dengan itu, pemerintah Bolivia juga membangun 80.000 pusat pelatihan membaca dan menulis di seluruh wilayah negerinya, untuk menunjang keberlangsungan program pemberantasan buta huruf.

Semua upaya itu tidak sia-sia. Pada 2008, rakyat Bolivia telah bisa membaca dan menulis, dan menjadi negara Amerika Latin ketiga yang bebas buta huruf, setelah Kuba dan Venezuela. Evo Morales mengatakan, “Keberhasilan memberantas buta huruf adalah kemenangan atas penjajahan kebodohan.”

Hmm… ada yang mau menambahkan?


Related

Umum 9028085203013022521

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item