Negara-negara Paling Korup di Dunia
https://www.belajarsampaimati.com/2014/06/negara-negara-paling-korup-di-dunia.html
Ilustrasi/expedia.co.id |
Transparency International, lembaga pemantau korupsi negara-negara di dunia, menyatakan bahwa lebih dari seperempat orang di seluruh dunia melakukan suap ketika berhadapan dengan pelayanan publik. Kenyataan menyedihkan itu terungkap setelah mereka melakukan wawancara dengan 114.270 orang di 107 negara. Lembaga itu menggunakan survei opini publik untuk memperkirakan prevalensi korupsi di lembaga-lembaga nasional di seluruh dunia.
Berdasarkan laporan yang dirilis Transparency International, kurang dari 5 persen responden di 16 negara mengaku memberikan suap, sementara lebih dari setengah orang-orang yang disurvei di 14 negara lain melaporkan bahwa mereka membayar suap kepada para pejabat publik.
Di Amerika Serikat, misalnya, rata-rata 1 dari 14 orang mengatakan mereka membayar suap kepada pejabat publik. Dari mereka yang membayar, 7 persen mengatakan mereka menyogok polisi, 11 persen mengatakan mereka menyuap penyidik, dan 15 persen mengatakan mereka menyuap hakim. Warga Amerika juga mengatakan melihat partai politik sebagai lembaga publik terkorup, dengan 76 persen responden menyatakan bahwa partai politik dicemari korupsi.
Suap adalah praktik umum yang bisa dilihat sebagai cermin perilaku korup pejabat pemerintah yang seharusnya melayani publik. Berdasarkan data Transparency International Corruption Index, berikut ini negara-negara yang menempati peringkat sepuluh besar sebagai negara paling korup di dunia. Angka atau skor yang digunakan dalam peringkat ini antara 1 sampai 10, dengan angka terendah sebagai yang paling korup.
Haiti
Meski korupsi hampir ada di setiap lembaga pemerintah, namun polisi adalah faktor sentral dalam korupsi di Haiti. Hal itu terjadi karena polisi merupakan orang-orang yang secara resmi berdekatan dengan lembaga-lembaga pemerintah mana pun, sehingga bisa dibilang lembaga kepolisian memiliki akses ke lembaga lainnya. Negara ini memiliki skor 1.8 dalam hal korupsi.
Haiti adalah negara Amerika Latin yang terletak di negara kepulauan Antilles di pulau Karibia Hispanik, dan berbagi wilayah dengan Republik Dominika. Sebagai bekas koloni Prancis, Haiti menjadi republik orang hitam independen pertama dan satu-satunya negara yang terbentuk dari perbudakan. Haiti menjadi negara kedua di Amerika (setelah Amerika Serikat) dengan warga bukan penduduk asli Amerika yang mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1 Januari 1804.
Myanmar
Sejak 1992, sistem politik Myanmar berada di bawah kekuasaan penuh Dewan Perdamaian dan Pengembangan Negara, yang dikepalai oleh pemerintahan militer negara. Beberapa organisasi hak asasi manusia, termasuk di antaranya Pengawas Hak Asasi Manusia dan Amnesty Internasional, telah melaporkan penindasan hak asasi manusia oleh pemerintahan militer negara tersebut.
Mereka menyatakan tidak ada sistem penilaian independen di Myanmar. Pemerintah melarang akses internet melalui perangkat lunak dengan sistem sensor yang membatasi warga negaranya untuk melakukan akses online. Selain itu, di negara tersebut juga berlangsung tenaga kerja paksa, penjualan manusia, serta tenaga kerja di bawah umur. Di tengah-tengah keadaan semacam itu, korupsi merajalela di sana, hingga suap seolah telah menjadi kewajiban, bahkan untuk mendapatkan jasa pemerintahan yang paling dasar. Negara ini memiliki skor 1.9.
Irak
Sama seperti Myanmar, Irak juga memiliki skor 1.9 untuk praktik korupsi. Tingginya angka korupsi di Irak dilatarbelakangi oleh hancurnya struktur negara itu setelah terjadinya perang. Dengan kondisi yang serba morak-marit dan tidak menentu, suap dan korupsi jadi semacam jamur yang tumbuh subur di berbagai tingkatan.
Sejak perang yang terjadi pada 2003, koalisi multinasional dari kekuatan militer, terutama dari Amerika dan Inggris, menduduki Irak. Selain menurunkan Saddam Hussein yang waktu itu memimpin Irak, penyerbuan itu juga memiliki konsekuensi yang meluas, di antaranya meningkatnya kekerasan terhadap warga sipil, pemogokan politik, dan permasalahan nasional dalam mengembangkan keseimbangan ekonomi, infrastruktur, dan penggunaan cadangan minyak negara tersebut.
Guinea
Guinea adalah negara di Afrika Barat, yang sebelumnya dikenal dengan nama Guinea-Prancis. Negara itu dideklarasikan pada 2 Oktober 1958. Dalam beberapa tahun terakhir, Guinea mengalami krisis politik akibat kudeta dan pergantian kepemimpinan.
Yang menyebabkan Guinea menjadi ladang korupsi adalah karena adanya pertambangan alumunium di negara tersebut. Dalam setiap perjanjian yang dibuat untuk sektor pertambangan itu, para pengusaha yang ingin terlibat harus menyerahkan setumpuk suap untuk membayar “orang-orang atas” alias para pejabat pemerintah yang ikut mengambil kebijakan dan keputusan. Dalam hal korupsi, negara ini memiliki skor 1.9.
Sudan
Sepucuk surat tertanggal 14 Agustus 2006 dari Direktur Eksekutif Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa pemerintah Sudan tidak mampu dan tidak berkeinginan untuk melindungi penduduk negaranya sendiri di Darfur. Surat tersebut juga menyatakan bahwa milisi di Dafur terbukti bersalah atas kejahatan yang bertentangan dengan kemanusiaan. Surat itu menambahkan bahwa tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kemanusiaan tersebut telah berlangsung sejak tahun 2004.
Kenyataan itulah yang kemudian menjadi awal merajalelanya praktik korupsi di Sudan. Semula, kepemilikan pengeboran minyak yang ada di Sudan didominasi perusahaan Kanada. Ketika perusahaan tersebut mengetahui korupsi dan catatan kemanusiaan yang buruk di negara tersebut, perusahaan Kanada pun bermaksud hengkang dari Sudan, dan pengeboran minyak itu lalu diambil alih perusahaan Cina.
Ketika perusahaan Cina mulai masuk Sudan untuk menggantikan perusahaan Kanada, berbagai praktik suap dan korupsi mulai meningkat pesat di kalangan pemerintah Sudan yang ingin mengeruk keuntungan dari hal tersebut. Negara ini memiliki skor 2.0 dalam hal korupsi. Sekarang, Cina bertanggung jawab untuk 90 persen produksi minyak di Sudan, yang juga mengatur aliran minyak melalui pipa besar melalui selatan menuju laut.
Republik Demokratik Kongo
Republik Demokratik Kongo adalah negara dengan luas ketiga terbesar di benua Afrika. Yang menjadikan korupsi merajalela di sana adalah keberadaan tembaga di Katanga, dan sumber daya lain di negara tersebut semisal emas, uranium, dan lainnya. Bahkan sang presiden diyakini menjadi anggota penerima pembayaran rutin atau suap dari perusahaan tambang yang beroperasi di Kongo.
Kongo berbatasan dengan Republik Afrika Tengah dan Sudan di bagian utara, Uganda, Rwanda, Burundi dan Tanzania di bagian timur, Zambia dan Angola di bagian selatan, serta Republik Kongo di bagian barat. Negara ini memiliki skor 2.0 dalam hal korupsi.
Chad
Konstitusi negara Chad memungkinkan divisi eksekutif yang dikepalai presiden untuk mendominasi sistem politik negara tersebut. Presiden memiliki kekuasaan untuk mengangkat perdana menteri dan kabinet, serta memiliki wewenang dalam penunjukan hakim, jenderal, pejabat provinsi, dan kepala firma Chad. Hasilnya adalah korupsi yang merajalela dalam semua tingkat pemerintahan.
Chad merupakan salah satu peminjam terbesar dari Bank Dunia, namun kemudian diketahui menyalahgunakan bantuan utang yang diterimanya. Sementara pendapatan negara yang diperoleh dari saluran minyak juga diketahui digunakan untuk membeli persenjataan demi menjaga kekuatan pemerintah, dan bukannya untuk memakmurkan rakyatnya. Negara ini memiliki skor 2.0 dalam hal korupsi.
Bangladesh
Bangladesh merupakan negara di Asia Selatan. Di negara itu, Perdana Menteri menjadi kepala pemerintahan yang membentuk kabinet dan menjalankan urusan negara sehari-hari. Perdana Menteri ditunjuk secara resmi oleh Presiden, yang harus menjadi anggota parlemen dan memegang kekuasaan mayoritas dalam parlemen. Presiden merupakan kepala negara, yang dipilih oleh anggota parlemen. Namun kekuasaan presiden dapat meningkat saat pemerintah yang bertugas sedang melaksanakan pemilu, dan pemindahan kekuasaan diberlakukan.
Korupsi yang banyak terjadi di Bangladesh bisa dibilang hampir ada di seluruh tingkat pemerintahan, terutama di bagian kehakiman dan lingkaran politik, dan sering masuk hingga ke sektor pribadi. Sebagai ilustrasi, pada Maret 2006 pemerintah di sana memenjarakan sedikitnya 40 pengusaha dan petinggi pemerintah dari dua partai teratas karena terlibat korupsi. Negara ini memiliki skor 2.0.
Uzbekistan
Sebagian besar pendapatan domestik Uzbekistan berasal dari ekspor produk seperti kapas, emas, dan gas. Namun, pendapatan dari produk-produk tersebut didistribusikan di antara sekelompok kecil penguasa, dan hanya sedikit bahkan hampir tidak ada yang diberikan kepada penduduk negara tersebut. Akibatnya, Uzbekistan menjadi negara paling korup di antara lima negara lain yang sama-sama pecahan Uni Soviet.
Maraknya kasus suap dan korupsi di Uzbekistan dilatarbelakangi oleh kerakusan para pejabat dalam memanfaatkan jabatannya untuk mengeruk uang, dan penyakit itu bahkan terjadi pada para pejabat di tingkat terbawah. Suap akan memenangkan apa pun di negara itu, hingga mahasiswa perlu menyuap demi bisa masuk universitas, dan pengguna jalan raya terbiasa menggunakan suap setiap kali harus berurusan dengan polisi lalu lintas. Negara ini memiliki skor 2.1.
Equatorial Guinea
Sama seperti Uzbekistan, negara ini memiliki skor 2.1. Equatorial Guinea adalah negara terkecil di benua Afrika. Konstitusi tahun 1982 di negara itu memberikan kekuasaan penuh kepada presiden untuk mengangkat dan menurunkan anggota kabinet, menyusun undang-undang berdasarkan penilaian individu, menegosiasikan dan menilai perjanjian, serta mengadakan pemilihan legislatif.
Equatorial Guinea punya sumber minyak yang tidak terlalu besar, dan presiden di sana memberlakukan aturan bahwa 30 persen dan seluruh keuntungan minyak yang ditambang di negara itu harus diserahkan untuknya. Kenyataan korupsi yang dilakukan presiden secara terang-terangan itu seperti memantik hal sama pada para pejabat di bawahnya.
Yang lebih mengerikan, diplomat dan menteri di sana telah tertangkap menyelundupkan obat terlarang, kadang bahkan menggunakan tas diplomatik dan bahkan koper kepresidenan dalam perjalanan kenegaraan.
Hmm… ada yang mau menambahkan?
Berdasarkan laporan yang dirilis Transparency International, kurang dari 5 persen responden di 16 negara mengaku memberikan suap, sementara lebih dari setengah orang-orang yang disurvei di 14 negara lain melaporkan bahwa mereka membayar suap kepada para pejabat publik.
Di Amerika Serikat, misalnya, rata-rata 1 dari 14 orang mengatakan mereka membayar suap kepada pejabat publik. Dari mereka yang membayar, 7 persen mengatakan mereka menyogok polisi, 11 persen mengatakan mereka menyuap penyidik, dan 15 persen mengatakan mereka menyuap hakim. Warga Amerika juga mengatakan melihat partai politik sebagai lembaga publik terkorup, dengan 76 persen responden menyatakan bahwa partai politik dicemari korupsi.
Suap adalah praktik umum yang bisa dilihat sebagai cermin perilaku korup pejabat pemerintah yang seharusnya melayani publik. Berdasarkan data Transparency International Corruption Index, berikut ini negara-negara yang menempati peringkat sepuluh besar sebagai negara paling korup di dunia. Angka atau skor yang digunakan dalam peringkat ini antara 1 sampai 10, dengan angka terendah sebagai yang paling korup.
Haiti
Meski korupsi hampir ada di setiap lembaga pemerintah, namun polisi adalah faktor sentral dalam korupsi di Haiti. Hal itu terjadi karena polisi merupakan orang-orang yang secara resmi berdekatan dengan lembaga-lembaga pemerintah mana pun, sehingga bisa dibilang lembaga kepolisian memiliki akses ke lembaga lainnya. Negara ini memiliki skor 1.8 dalam hal korupsi.
Haiti adalah negara Amerika Latin yang terletak di negara kepulauan Antilles di pulau Karibia Hispanik, dan berbagi wilayah dengan Republik Dominika. Sebagai bekas koloni Prancis, Haiti menjadi republik orang hitam independen pertama dan satu-satunya negara yang terbentuk dari perbudakan. Haiti menjadi negara kedua di Amerika (setelah Amerika Serikat) dengan warga bukan penduduk asli Amerika yang mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1 Januari 1804.
Myanmar
Sejak 1992, sistem politik Myanmar berada di bawah kekuasaan penuh Dewan Perdamaian dan Pengembangan Negara, yang dikepalai oleh pemerintahan militer negara. Beberapa organisasi hak asasi manusia, termasuk di antaranya Pengawas Hak Asasi Manusia dan Amnesty Internasional, telah melaporkan penindasan hak asasi manusia oleh pemerintahan militer negara tersebut.
Mereka menyatakan tidak ada sistem penilaian independen di Myanmar. Pemerintah melarang akses internet melalui perangkat lunak dengan sistem sensor yang membatasi warga negaranya untuk melakukan akses online. Selain itu, di negara tersebut juga berlangsung tenaga kerja paksa, penjualan manusia, serta tenaga kerja di bawah umur. Di tengah-tengah keadaan semacam itu, korupsi merajalela di sana, hingga suap seolah telah menjadi kewajiban, bahkan untuk mendapatkan jasa pemerintahan yang paling dasar. Negara ini memiliki skor 1.9.
Irak
Sama seperti Myanmar, Irak juga memiliki skor 1.9 untuk praktik korupsi. Tingginya angka korupsi di Irak dilatarbelakangi oleh hancurnya struktur negara itu setelah terjadinya perang. Dengan kondisi yang serba morak-marit dan tidak menentu, suap dan korupsi jadi semacam jamur yang tumbuh subur di berbagai tingkatan.
Sejak perang yang terjadi pada 2003, koalisi multinasional dari kekuatan militer, terutama dari Amerika dan Inggris, menduduki Irak. Selain menurunkan Saddam Hussein yang waktu itu memimpin Irak, penyerbuan itu juga memiliki konsekuensi yang meluas, di antaranya meningkatnya kekerasan terhadap warga sipil, pemogokan politik, dan permasalahan nasional dalam mengembangkan keseimbangan ekonomi, infrastruktur, dan penggunaan cadangan minyak negara tersebut.
Guinea
Guinea adalah negara di Afrika Barat, yang sebelumnya dikenal dengan nama Guinea-Prancis. Negara itu dideklarasikan pada 2 Oktober 1958. Dalam beberapa tahun terakhir, Guinea mengalami krisis politik akibat kudeta dan pergantian kepemimpinan.
Yang menyebabkan Guinea menjadi ladang korupsi adalah karena adanya pertambangan alumunium di negara tersebut. Dalam setiap perjanjian yang dibuat untuk sektor pertambangan itu, para pengusaha yang ingin terlibat harus menyerahkan setumpuk suap untuk membayar “orang-orang atas” alias para pejabat pemerintah yang ikut mengambil kebijakan dan keputusan. Dalam hal korupsi, negara ini memiliki skor 1.9.
Sudan
Sepucuk surat tertanggal 14 Agustus 2006 dari Direktur Eksekutif Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa pemerintah Sudan tidak mampu dan tidak berkeinginan untuk melindungi penduduk negaranya sendiri di Darfur. Surat tersebut juga menyatakan bahwa milisi di Dafur terbukti bersalah atas kejahatan yang bertentangan dengan kemanusiaan. Surat itu menambahkan bahwa tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kemanusiaan tersebut telah berlangsung sejak tahun 2004.
Kenyataan itulah yang kemudian menjadi awal merajalelanya praktik korupsi di Sudan. Semula, kepemilikan pengeboran minyak yang ada di Sudan didominasi perusahaan Kanada. Ketika perusahaan tersebut mengetahui korupsi dan catatan kemanusiaan yang buruk di negara tersebut, perusahaan Kanada pun bermaksud hengkang dari Sudan, dan pengeboran minyak itu lalu diambil alih perusahaan Cina.
Ketika perusahaan Cina mulai masuk Sudan untuk menggantikan perusahaan Kanada, berbagai praktik suap dan korupsi mulai meningkat pesat di kalangan pemerintah Sudan yang ingin mengeruk keuntungan dari hal tersebut. Negara ini memiliki skor 2.0 dalam hal korupsi. Sekarang, Cina bertanggung jawab untuk 90 persen produksi minyak di Sudan, yang juga mengatur aliran minyak melalui pipa besar melalui selatan menuju laut.
Republik Demokratik Kongo
Republik Demokratik Kongo adalah negara dengan luas ketiga terbesar di benua Afrika. Yang menjadikan korupsi merajalela di sana adalah keberadaan tembaga di Katanga, dan sumber daya lain di negara tersebut semisal emas, uranium, dan lainnya. Bahkan sang presiden diyakini menjadi anggota penerima pembayaran rutin atau suap dari perusahaan tambang yang beroperasi di Kongo.
Kongo berbatasan dengan Republik Afrika Tengah dan Sudan di bagian utara, Uganda, Rwanda, Burundi dan Tanzania di bagian timur, Zambia dan Angola di bagian selatan, serta Republik Kongo di bagian barat. Negara ini memiliki skor 2.0 dalam hal korupsi.
Chad
Konstitusi negara Chad memungkinkan divisi eksekutif yang dikepalai presiden untuk mendominasi sistem politik negara tersebut. Presiden memiliki kekuasaan untuk mengangkat perdana menteri dan kabinet, serta memiliki wewenang dalam penunjukan hakim, jenderal, pejabat provinsi, dan kepala firma Chad. Hasilnya adalah korupsi yang merajalela dalam semua tingkat pemerintahan.
Chad merupakan salah satu peminjam terbesar dari Bank Dunia, namun kemudian diketahui menyalahgunakan bantuan utang yang diterimanya. Sementara pendapatan negara yang diperoleh dari saluran minyak juga diketahui digunakan untuk membeli persenjataan demi menjaga kekuatan pemerintah, dan bukannya untuk memakmurkan rakyatnya. Negara ini memiliki skor 2.0 dalam hal korupsi.
Bangladesh
Bangladesh merupakan negara di Asia Selatan. Di negara itu, Perdana Menteri menjadi kepala pemerintahan yang membentuk kabinet dan menjalankan urusan negara sehari-hari. Perdana Menteri ditunjuk secara resmi oleh Presiden, yang harus menjadi anggota parlemen dan memegang kekuasaan mayoritas dalam parlemen. Presiden merupakan kepala negara, yang dipilih oleh anggota parlemen. Namun kekuasaan presiden dapat meningkat saat pemerintah yang bertugas sedang melaksanakan pemilu, dan pemindahan kekuasaan diberlakukan.
Korupsi yang banyak terjadi di Bangladesh bisa dibilang hampir ada di seluruh tingkat pemerintahan, terutama di bagian kehakiman dan lingkaran politik, dan sering masuk hingga ke sektor pribadi. Sebagai ilustrasi, pada Maret 2006 pemerintah di sana memenjarakan sedikitnya 40 pengusaha dan petinggi pemerintah dari dua partai teratas karena terlibat korupsi. Negara ini memiliki skor 2.0.
Uzbekistan
Sebagian besar pendapatan domestik Uzbekistan berasal dari ekspor produk seperti kapas, emas, dan gas. Namun, pendapatan dari produk-produk tersebut didistribusikan di antara sekelompok kecil penguasa, dan hanya sedikit bahkan hampir tidak ada yang diberikan kepada penduduk negara tersebut. Akibatnya, Uzbekistan menjadi negara paling korup di antara lima negara lain yang sama-sama pecahan Uni Soviet.
Maraknya kasus suap dan korupsi di Uzbekistan dilatarbelakangi oleh kerakusan para pejabat dalam memanfaatkan jabatannya untuk mengeruk uang, dan penyakit itu bahkan terjadi pada para pejabat di tingkat terbawah. Suap akan memenangkan apa pun di negara itu, hingga mahasiswa perlu menyuap demi bisa masuk universitas, dan pengguna jalan raya terbiasa menggunakan suap setiap kali harus berurusan dengan polisi lalu lintas. Negara ini memiliki skor 2.1.
Equatorial Guinea
Sama seperti Uzbekistan, negara ini memiliki skor 2.1. Equatorial Guinea adalah negara terkecil di benua Afrika. Konstitusi tahun 1982 di negara itu memberikan kekuasaan penuh kepada presiden untuk mengangkat dan menurunkan anggota kabinet, menyusun undang-undang berdasarkan penilaian individu, menegosiasikan dan menilai perjanjian, serta mengadakan pemilihan legislatif.
Equatorial Guinea punya sumber minyak yang tidak terlalu besar, dan presiden di sana memberlakukan aturan bahwa 30 persen dan seluruh keuntungan minyak yang ditambang di negara itu harus diserahkan untuknya. Kenyataan korupsi yang dilakukan presiden secara terang-terangan itu seperti memantik hal sama pada para pejabat di bawahnya.
Yang lebih mengerikan, diplomat dan menteri di sana telah tertangkap menyelundupkan obat terlarang, kadang bahkan menggunakan tas diplomatik dan bahkan koper kepresidenan dalam perjalanan kenegaraan.
Hmm… ada yang mau menambahkan?