Kota-kota Mati di Dunia
https://www.belajarsampaimati.com/2014/06/kota-kota-mati-di-dunia.html
Ilustrasi/inipasti.com |
Di Kepulauan Svalbard, Norwegia, ada sebuah kota bernama Pyramiden. Kota itu dijuluki “ghost town at the end of earth” atau “kota mati di ujung dunia”. Nama Pyramiden berasal dari sebuah gunung di sana yang berbentuk seperti piramida. Tapi yang menjadikan Pyramiden menarik adalah karena kota itu disebut sebagai kota di ujung planet Bumi.
Lokasi Pyramiden sangat dekat dengan Kutub Utara, hanya berjarak 130 kilometer. Pada 1910, kota itu telah ditempati pada penduduk Swedia. Namun, kemudian pada 1927, Swedia menjual tempat itu pada Uni Soviet. Di Pyramiden terdapat tambang batubara yang melimpah, dan Uni Soviet kemudian membangun pusat pertambangan batubara di sana. Hal itu terus berlangsung sampai tahun 1998, hingga kemudian produksi batubara berhenti, dan para penduduk mulai pergi meninggalkan Pyramiden.
Sejak itu, kota yang semula ramai dan sibuk berganti menjadi kota mati tanpa penghuni. Perumahan dan gedung-gedung yang semula berdiri kokoh perlahan-lahan hancur dan runtuh. Meski begitu, karena pemandangannya dianggap menarik, kota Pyramiden tidak dilupakan begitu saja. Walau telah menjadi kota mati, Pyramiden menjadi daya tarik wisata. Sekarang, banyak turis yang datang ke sana, hingga sebuah hotel dibangun tanpa mengubah suasana aslinya.
Selain Pyramiden, ada kota-kota lain yang juga telah menjadi kota mati akibat ditinggalkan penduduknya. Penyebabnya beragam—karena bencana, akibat perang, atau lainnya. Namun, berbeda dengan Pyramiden yang berubah menjadi destinasi wisata, kota-kota berikut ini benar-benar menjadi kota mati yang tak memiliki daya tarik lagi.
Kolmanskop, Namibia
Kolmanskop adalah kota mati di selatan Namibia, beberapa kilometer dari pelabuhan Luderitz. Semula, kota itu adalah padang pasir tandus tanpa penghuni. Tetapi, pada 1908, terjadi demam berlian, dan orang-orang menuju ke padang pasir Namib untuk menambang berlian dan berharap mendapat kekayaan dengan mudah. Hanya dalam waktu dua tahun, terciptalah sebuah kota yang megah, lengkap dengan segala prasarananya, seperti sekolah, rumah sakit, kasino, juga bangunan tempat tinggal mewah yang berdiri di lahan yang dulunya merupakan padang pasir.
Lalu Perang Dunia I meletus, yang mengakibatkan berhentinya perdagangan berlian. Itu merupakan awal kehancuran kota Kolmanskop. Sejak itu, orang-orang yang telah menjadi penduduk di sana mulai meninggalkan tempat tinggalnya, rumah-rumah yang kosong roboh satu per satu karena tak berpenghuni, kebun-kebun yang cantik mulai terkubur pasir kembali, papan-papan metal di berbagai tempat perlahan-lahan rapuh dan berkarat. Sebuah kota mati pun dilahirkan.
Prypiat, Ukraina
Prypiat adalah kota besar di Ukraina Utara, yang merupakan daerah perumahan para pekerja kawasan nuklir Chernobyl.
Pada 26 April 1986, terjadi ledakan pada reaktor nomor 4 di reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir Chernobyl, yang saat itu masih menjadi negara bagian Uni Soviet. Kejadian itu merupakan peristiwa terburuk sepanjang sejarah dalam proses pengolahan sumber daya nuklir menjadi tenaga listrik. Efek radiasi akibat ledakan itu menyebar ke seluruh Ukraina, dan menyebabkan sekitar 50 ribu orang tewas, sementara efek radiasi menyebar ke seluruh negara hingga tahun 2006.
Pemerintah Uni Soviet mendapat kritikan keras karena tidak bergerak cepat untuk memperingatkan warganya mengenai bahaya tersebut. Penduduk yang ada di kota-kota terdekat dengan reaktor itu pun dievakuasi, dan zona 18 mil dari wilayah ledakan ditetapkan sebagai zona terlarang untuk dimasuki.
Prypiat hanya berjarak 3 mil dari reaktor Chernobyl, dan penduduknya sebagian besar adalah pekerja di reaktor tersebut. Sekitar 44.000 jiwa menghuni kota ini, dan baru 60 jam setelah kejadian itu para penduduk di sana dievakuasi. Prypiat ditetapkan sebagai wilayah tidak aman untuk dihuni, dan dibutuhkan waktu ratusan tahun hingga aman untuk dihuni kembali oleh manusia. Selama evakuasi, para penduduk hanya diperbolehkan membawa dokumen penting dan pakaian yang tidak terkontaminasi nuklir.
Setelah peristiwa tersebut, lokasi itu pun praktis seperti sebuah museum, menjadi bagian dari sejarah Soviet. Bangunan apartemen, kolam renang, rumah sakit, dan banyak bangunan lainnya hancur, sementara semua yang ada di dalamnya dibiarkan tertinggal, seperti televisi, mainan anak-anak, meubel, pakaian, dan lainnya.
Memasuki abad ke-21, bertahun-tahun sejak kejadian itu, para penjarah yang nekat mulai masuk ke wilayah berbahaya di sana, dan menjarah apa pun yang bisa dijarah. Barang-barang semacam perabotan rumahtangga dan semacamnya diambil dan dijual sebagai barang rongsokan, hingga Prypiat benar-benar menjadi kota mati. Tanpa penghuni, tanpa apa pun yang berharga, selain hanya jejak samar tertinggalnya peradaban manusia.
Craco, Italia
Craco terletak di daerah Basilicata, masuk wilayah provinsi Matera, sekitar 25 mil dari teluk Taranto. Kota yang berdiri sejak zaman pertengahan itu memiliki area yang dipenuhi bukit yang berombak-ombak naik turun, serta hamparan pertanian gandum dan tanaman lainnya.
Pada tahun 1891, populasi penduduk Craco lebih dari 2.000 orang. Namun, kondisi pertanian di sana waktu itu sangat buruk, ditambah berbagai bencana seperti gempa bumi, tanah longsor, bahkan peperangan. Berbagai permasalahan sosial dan kemiskinan menjadikan mereka putus asa, dan orang-orang kemudian mulai memutuskan untuk pergi dari sana untuk pindah ke Amerika Utara, mencari penghidupan yang lebih baik. Selama 1892 sampai 1922, sekitar 1.300 orang telah meninggalkan Craco.
Setelah sebagian besar penduduk Craco bermigrasi ke wilayah lain, Craco pun mulai sepi, dan hanya ada sisa penduduk yang masih mencoba bertahan hidup di sana. Pada tahun 1959 dan 1972, Craco kembali diguncang gempa dan tanah longsor. Bencana alam yang menyulitkan itu kemudian membuat para penduduk yang tersisa di sana mulai pindah ke suatu lembah dekat Craco Peschiera, meninggalkan wilayah Craco yang kini benar-benar kosong.
Sampai sekarang, Craco masih dalam keadaan hancur, sepi, dan hanya menyisakan sedikit sisa sejarah penduduknya.
Oradour Sur Glance, Prancis
Oradour Sur Glance adalah saksi sejarah mengenai kejamnya perang. Pada waktu Perang Dunia II meletus, tentara Jerman memasuki Prancis untuk melakukan penyerangan balasan. Tujuan semula mereka sebenarnya menyerbu wilayah yang berdekatan dengan Oradour Sur Glance. Tetapi entah karena pertimbangan apa, pasukan itu kemudian menyerang penduduk di Oradour Sur Glance.
Sebanyak 642 penduduk dibantai oleh tentara Jerman waktu itu. Menurut saksi mata, penduduk yang laki-laki dimasukkan ke dalam sebuah gudang, dan tentara Jerman menembaki kaki mereka hingga akhirnya mati pelan-pelan. Sementara penduduk wanita dan anak-anak dimasukkan ke dalam gereja, dan siapa pun akan langsung ditembak jika mencoba keluar. Peristiwa itu terjadi pada 10 Juni 1944.
Kenyataannya, Oradour Sur Glance benar-benar dihancurkan pasukan Jerman—tidak hanya penduduknya. Sampai saat ini, reruntuhan tempat itu masih berdiri, seolah menjadi monumen duka yang menjadi saksi sejarah mengenai kebiadaban perang.
Gunkanjima, Jepang
Gunkanjima, atau Gunkan Jima, terletak di lepas pantai sekitar 15 kilometer dari Nagasaki. Tempat itu berada di atas deposit batubara yang cukup besar, dan merupakan pusat utama pertambangan batubara di Jepang hampir seabad lamanya. Semula, tanah-tanah di sana dimiliki para penduduk setempat yang menambang batubara di sana secara tradisional.
Pada tahun 1890, Mitsubishi Corporation membeli tempat itu, dengan proyek tujuan untuk mendapatkan batubara dari dasar laut di sekitar wilayah tersebut. Memasuki tahun 1916, Mitsubishi Corporation mulai membangun beton besar pertama di pulau tersebut, untuk sebuah blok apartemen bagi para pekerja, dan juga berfungsi untuk melindungi mereka dari angin topan. Itu lebih praktis daripada menyediakan feri setiap hari untuk pulang dan pergi para pekerja.
Seiring dengan itu, Gunkanjima yang semula tampak liar berubah menjadi tempat tinggal modern. Berbagai fasilitas pelengkap semacam gedung bioskop, tempat praktik dokter, restoran, dan bar, serta lainnya mulai tumbuh di sana.
Karena aktivitas penggalian batubara di sana, jumlah penduduk di Gunkanjima pun perlahan-lahan semakin padat, karena banyaknya pekerja yang berdatangan. Pada 1959, kepadatan populasi penduduk di Gunkanjima telah mencapai 835 orang per hektar untuk keseluruhan wilayah. Itu merupakan populasi penduduk paling padat yang pernah terjadi.
Sampai kemudian, pada 1960, minyak tanah mulai menggantikan batubara. Munculnya penggunaan minyak tanah tidak hanya mengakibatkan ditutupnya tambang batubara di Gunkanjima, tapi juga menyebabkan para penduduk di daerah itu keluar dari sana karena tak ada lagi nafkah yang bisa didapatkan. Pada 1974, perusahaan Mitsubishi secara resmi mengumumkan penutupan tambang tersebut, dan tak lama kemudian Gunkanjima telah menjadi tempat yang kosong.
Centralia, Pennsylvania AS
Centralia telah berdiri sejak tahun 1866, dan kota itu dihuni oleh 3.000 orang yang menjadi penduduknya. Kota itu diberkahi kekayaan batubara yang dikandungnya, dan dengan itu pula penduduk di sana mendapatkan penghidupan yang layak. Namun, batubara itu pula yang kemudian menjadi bencana yang mengharuskan mereka pergi selama-lamanya dari Centralia.
Pada tahun 1962, terjadi kecelakaan yang tak terbayangkan. Seorang pekerja di sana membakar sampah, dan secara tak sengaja ikut membakar cadangan batubara yang ada di bawah kota tersebut. Kecelakaan itu menjadikan pusat cadangan batubara terbakar, dan sulit dipadamkan. Semua cara dan upaya telah dicoba untuk memadamkan api yang terus membara, namun tidak ada yang berhasil, akibat besarnya kandungan batubara yang ada.
Kecelakaan itu menjadikan para penduduk tidak bisa lagi bekerja, dan perlahan namun pasti mereka mulai meninggalkan Centralia untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Dua puluh tahun kemudian, pada 1981, jumlah penduduk di Centralia tinggal 1.000 orang. Dan di tahun itu pula terjadi peristiwa tak terduga. Seorang anak yang sedang bermain di halaman tiba-tiba terperosok ke dalam sebuah lubang, dan jatuh hingga ke kedalaman 150 meter. Anak itu selamat, karena berpegangan pada akar pohon, hingga datang tim penolong. Namun kejadian itu kemudian membukakan fakta lain yang mengerikan dari terbakarnya batubara di sana. Lubang itu ternyata mengeluarkan gas karbon monooksida yang beracun.
Pemerintah federal pun segera mengeluarkan dana 42 juta dollar untuk memindahkan sisa penduduk yang masih bertahan di sana, dan secara resmi menutup kota tersebut. Jalur utama untuk keluar dan masuk ke kota itu ditutup, karena tanah-tanah yang terbuka di sana mengeluarkan gas putih beracun. Seiring dengan itu, panasnya api yang ditimbulkan batubara yang terbakar mulai melalap sisa-sisa rumah dan peradaban yang semula berdiri di Centralia.
Kadykchan, Rusia
Tak jauh beda dengan Centralia, Kadykchan adalah kota penghasil batubara. Kadykchan mulai dibangun seusai Perang Dunia II, dan para pekerja mulai berdatangan ke sana untuk menjadi penambang batubara.
Sampai kemudian, pada 1996, terjadi kecelakaan. Tambang batubara itu meledak, dan menewaskan 6 orang pekerja. Kecelakaan itu diperkirakan belum akan berhenti—ada kemungkinan ledakan masih akan terjadi. Untuk menghindarkan kemungkinan yang lebih parah, tambang batubara itu pun ditutup, dan 12.000 penduduk yang ada di sana diungsikan ke tempat lain. Sejak itu, Kadykchan menjadi kota mati.
Humberstone dan Santa Laura, Chili
Humberstone dan Santa Laura adalah kota yang bersebelahan, yang telah berdiri sejak tahun 1862. Keduanya merupakan pusat penambangan nitrat terbesar di Chili. Tambang nitrat itu pula yang menjadikan kedua kota tersebut makmur, dan penduduknya hidup dengan berlimpah kekayaan. Para era 1930 dan 1940-an, ketika nitrat mengalami booming, penduduk Humberstone dan Santa Laura benar-benar berlimpah kemewahan dari hasil bumi mereka.
Dua kota itu tidak hanya menjadi sumber tambang nitrat, tapi juga menjadi tempat pengolahan nitrat yang berhasil. Pada masa itu, nitrat adalah unsur terpenting dalam proses pembuatan pupuk. Produksi nitrat mereka pun tidak hanya menyuplai kebutuhan di Chili, tapi juga di luar negeri.
Sampai kemudian, pada akhir 1930-an, nitrat sintetis mulai diciptakan. Semula, kelahiran nitrat sintetis belum terlalu berpengaruh. Tetapi, seiring waktu, harga nitrat sintetis semakin murah, hingga permintaan terhadap produksi nitrat sintetis semakin banyak. Itu merupakan awal keruntuhan Humberstone dan Santa Laura yang semula berjaya dengan tambang nitrat alami mereka.
Tiga dekade kemudian, kejayaan Humberstone dan Santa Laura benar-benar meredup. Pada tahun 1961, kantor penambangan nitrat di dua kota itu secara resmi ditutup, dan para penduduknya mulai pergi mencari tempat baru yang lebih menjanjikan. Kini, yang tersisa dari kejayaan dua kota itu hanya tumpukan pasir, gurun, dan sekolah-sekolah serta museum yang telah ditinggalkan, sementara rumah-rumah para pekerja dan mesin-mesin pengolahan tampak teronggok tak terurus.
Di sana juga masih bisa dijumpai Hotel Humberstone dengan fasilitas kolam renangnya yang kini telah kering airnya, namun papan loncatnya masih tegak berdiri hingga kini. Pada 1970, pemerintah Chili menetapkan kedua kota itu sebagai monumen nasional, dan pada 2005 ditetapkan sebagai situs warisan budaya oleh Unesco.
Hmm… ada yang mau menambahkan?
Lokasi Pyramiden sangat dekat dengan Kutub Utara, hanya berjarak 130 kilometer. Pada 1910, kota itu telah ditempati pada penduduk Swedia. Namun, kemudian pada 1927, Swedia menjual tempat itu pada Uni Soviet. Di Pyramiden terdapat tambang batubara yang melimpah, dan Uni Soviet kemudian membangun pusat pertambangan batubara di sana. Hal itu terus berlangsung sampai tahun 1998, hingga kemudian produksi batubara berhenti, dan para penduduk mulai pergi meninggalkan Pyramiden.
Sejak itu, kota yang semula ramai dan sibuk berganti menjadi kota mati tanpa penghuni. Perumahan dan gedung-gedung yang semula berdiri kokoh perlahan-lahan hancur dan runtuh. Meski begitu, karena pemandangannya dianggap menarik, kota Pyramiden tidak dilupakan begitu saja. Walau telah menjadi kota mati, Pyramiden menjadi daya tarik wisata. Sekarang, banyak turis yang datang ke sana, hingga sebuah hotel dibangun tanpa mengubah suasana aslinya.
Selain Pyramiden, ada kota-kota lain yang juga telah menjadi kota mati akibat ditinggalkan penduduknya. Penyebabnya beragam—karena bencana, akibat perang, atau lainnya. Namun, berbeda dengan Pyramiden yang berubah menjadi destinasi wisata, kota-kota berikut ini benar-benar menjadi kota mati yang tak memiliki daya tarik lagi.
Kolmanskop, Namibia
Kolmanskop adalah kota mati di selatan Namibia, beberapa kilometer dari pelabuhan Luderitz. Semula, kota itu adalah padang pasir tandus tanpa penghuni. Tetapi, pada 1908, terjadi demam berlian, dan orang-orang menuju ke padang pasir Namib untuk menambang berlian dan berharap mendapat kekayaan dengan mudah. Hanya dalam waktu dua tahun, terciptalah sebuah kota yang megah, lengkap dengan segala prasarananya, seperti sekolah, rumah sakit, kasino, juga bangunan tempat tinggal mewah yang berdiri di lahan yang dulunya merupakan padang pasir.
Lalu Perang Dunia I meletus, yang mengakibatkan berhentinya perdagangan berlian. Itu merupakan awal kehancuran kota Kolmanskop. Sejak itu, orang-orang yang telah menjadi penduduk di sana mulai meninggalkan tempat tinggalnya, rumah-rumah yang kosong roboh satu per satu karena tak berpenghuni, kebun-kebun yang cantik mulai terkubur pasir kembali, papan-papan metal di berbagai tempat perlahan-lahan rapuh dan berkarat. Sebuah kota mati pun dilahirkan.
Prypiat, Ukraina
Prypiat adalah kota besar di Ukraina Utara, yang merupakan daerah perumahan para pekerja kawasan nuklir Chernobyl.
Pada 26 April 1986, terjadi ledakan pada reaktor nomor 4 di reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir Chernobyl, yang saat itu masih menjadi negara bagian Uni Soviet. Kejadian itu merupakan peristiwa terburuk sepanjang sejarah dalam proses pengolahan sumber daya nuklir menjadi tenaga listrik. Efek radiasi akibat ledakan itu menyebar ke seluruh Ukraina, dan menyebabkan sekitar 50 ribu orang tewas, sementara efek radiasi menyebar ke seluruh negara hingga tahun 2006.
Pemerintah Uni Soviet mendapat kritikan keras karena tidak bergerak cepat untuk memperingatkan warganya mengenai bahaya tersebut. Penduduk yang ada di kota-kota terdekat dengan reaktor itu pun dievakuasi, dan zona 18 mil dari wilayah ledakan ditetapkan sebagai zona terlarang untuk dimasuki.
Prypiat hanya berjarak 3 mil dari reaktor Chernobyl, dan penduduknya sebagian besar adalah pekerja di reaktor tersebut. Sekitar 44.000 jiwa menghuni kota ini, dan baru 60 jam setelah kejadian itu para penduduk di sana dievakuasi. Prypiat ditetapkan sebagai wilayah tidak aman untuk dihuni, dan dibutuhkan waktu ratusan tahun hingga aman untuk dihuni kembali oleh manusia. Selama evakuasi, para penduduk hanya diperbolehkan membawa dokumen penting dan pakaian yang tidak terkontaminasi nuklir.
Setelah peristiwa tersebut, lokasi itu pun praktis seperti sebuah museum, menjadi bagian dari sejarah Soviet. Bangunan apartemen, kolam renang, rumah sakit, dan banyak bangunan lainnya hancur, sementara semua yang ada di dalamnya dibiarkan tertinggal, seperti televisi, mainan anak-anak, meubel, pakaian, dan lainnya.
Memasuki abad ke-21, bertahun-tahun sejak kejadian itu, para penjarah yang nekat mulai masuk ke wilayah berbahaya di sana, dan menjarah apa pun yang bisa dijarah. Barang-barang semacam perabotan rumahtangga dan semacamnya diambil dan dijual sebagai barang rongsokan, hingga Prypiat benar-benar menjadi kota mati. Tanpa penghuni, tanpa apa pun yang berharga, selain hanya jejak samar tertinggalnya peradaban manusia.
Craco, Italia
Craco terletak di daerah Basilicata, masuk wilayah provinsi Matera, sekitar 25 mil dari teluk Taranto. Kota yang berdiri sejak zaman pertengahan itu memiliki area yang dipenuhi bukit yang berombak-ombak naik turun, serta hamparan pertanian gandum dan tanaman lainnya.
Pada tahun 1891, populasi penduduk Craco lebih dari 2.000 orang. Namun, kondisi pertanian di sana waktu itu sangat buruk, ditambah berbagai bencana seperti gempa bumi, tanah longsor, bahkan peperangan. Berbagai permasalahan sosial dan kemiskinan menjadikan mereka putus asa, dan orang-orang kemudian mulai memutuskan untuk pergi dari sana untuk pindah ke Amerika Utara, mencari penghidupan yang lebih baik. Selama 1892 sampai 1922, sekitar 1.300 orang telah meninggalkan Craco.
Setelah sebagian besar penduduk Craco bermigrasi ke wilayah lain, Craco pun mulai sepi, dan hanya ada sisa penduduk yang masih mencoba bertahan hidup di sana. Pada tahun 1959 dan 1972, Craco kembali diguncang gempa dan tanah longsor. Bencana alam yang menyulitkan itu kemudian membuat para penduduk yang tersisa di sana mulai pindah ke suatu lembah dekat Craco Peschiera, meninggalkan wilayah Craco yang kini benar-benar kosong.
Sampai sekarang, Craco masih dalam keadaan hancur, sepi, dan hanya menyisakan sedikit sisa sejarah penduduknya.
Oradour Sur Glance, Prancis
Oradour Sur Glance adalah saksi sejarah mengenai kejamnya perang. Pada waktu Perang Dunia II meletus, tentara Jerman memasuki Prancis untuk melakukan penyerangan balasan. Tujuan semula mereka sebenarnya menyerbu wilayah yang berdekatan dengan Oradour Sur Glance. Tetapi entah karena pertimbangan apa, pasukan itu kemudian menyerang penduduk di Oradour Sur Glance.
Sebanyak 642 penduduk dibantai oleh tentara Jerman waktu itu. Menurut saksi mata, penduduk yang laki-laki dimasukkan ke dalam sebuah gudang, dan tentara Jerman menembaki kaki mereka hingga akhirnya mati pelan-pelan. Sementara penduduk wanita dan anak-anak dimasukkan ke dalam gereja, dan siapa pun akan langsung ditembak jika mencoba keluar. Peristiwa itu terjadi pada 10 Juni 1944.
Kenyataannya, Oradour Sur Glance benar-benar dihancurkan pasukan Jerman—tidak hanya penduduknya. Sampai saat ini, reruntuhan tempat itu masih berdiri, seolah menjadi monumen duka yang menjadi saksi sejarah mengenai kebiadaban perang.
Gunkanjima, Jepang
Gunkanjima, atau Gunkan Jima, terletak di lepas pantai sekitar 15 kilometer dari Nagasaki. Tempat itu berada di atas deposit batubara yang cukup besar, dan merupakan pusat utama pertambangan batubara di Jepang hampir seabad lamanya. Semula, tanah-tanah di sana dimiliki para penduduk setempat yang menambang batubara di sana secara tradisional.
Pada tahun 1890, Mitsubishi Corporation membeli tempat itu, dengan proyek tujuan untuk mendapatkan batubara dari dasar laut di sekitar wilayah tersebut. Memasuki tahun 1916, Mitsubishi Corporation mulai membangun beton besar pertama di pulau tersebut, untuk sebuah blok apartemen bagi para pekerja, dan juga berfungsi untuk melindungi mereka dari angin topan. Itu lebih praktis daripada menyediakan feri setiap hari untuk pulang dan pergi para pekerja.
Seiring dengan itu, Gunkanjima yang semula tampak liar berubah menjadi tempat tinggal modern. Berbagai fasilitas pelengkap semacam gedung bioskop, tempat praktik dokter, restoran, dan bar, serta lainnya mulai tumbuh di sana.
Karena aktivitas penggalian batubara di sana, jumlah penduduk di Gunkanjima pun perlahan-lahan semakin padat, karena banyaknya pekerja yang berdatangan. Pada 1959, kepadatan populasi penduduk di Gunkanjima telah mencapai 835 orang per hektar untuk keseluruhan wilayah. Itu merupakan populasi penduduk paling padat yang pernah terjadi.
Sampai kemudian, pada 1960, minyak tanah mulai menggantikan batubara. Munculnya penggunaan minyak tanah tidak hanya mengakibatkan ditutupnya tambang batubara di Gunkanjima, tapi juga menyebabkan para penduduk di daerah itu keluar dari sana karena tak ada lagi nafkah yang bisa didapatkan. Pada 1974, perusahaan Mitsubishi secara resmi mengumumkan penutupan tambang tersebut, dan tak lama kemudian Gunkanjima telah menjadi tempat yang kosong.
Centralia, Pennsylvania AS
Centralia telah berdiri sejak tahun 1866, dan kota itu dihuni oleh 3.000 orang yang menjadi penduduknya. Kota itu diberkahi kekayaan batubara yang dikandungnya, dan dengan itu pula penduduk di sana mendapatkan penghidupan yang layak. Namun, batubara itu pula yang kemudian menjadi bencana yang mengharuskan mereka pergi selama-lamanya dari Centralia.
Pada tahun 1962, terjadi kecelakaan yang tak terbayangkan. Seorang pekerja di sana membakar sampah, dan secara tak sengaja ikut membakar cadangan batubara yang ada di bawah kota tersebut. Kecelakaan itu menjadikan pusat cadangan batubara terbakar, dan sulit dipadamkan. Semua cara dan upaya telah dicoba untuk memadamkan api yang terus membara, namun tidak ada yang berhasil, akibat besarnya kandungan batubara yang ada.
Kecelakaan itu menjadikan para penduduk tidak bisa lagi bekerja, dan perlahan namun pasti mereka mulai meninggalkan Centralia untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Dua puluh tahun kemudian, pada 1981, jumlah penduduk di Centralia tinggal 1.000 orang. Dan di tahun itu pula terjadi peristiwa tak terduga. Seorang anak yang sedang bermain di halaman tiba-tiba terperosok ke dalam sebuah lubang, dan jatuh hingga ke kedalaman 150 meter. Anak itu selamat, karena berpegangan pada akar pohon, hingga datang tim penolong. Namun kejadian itu kemudian membukakan fakta lain yang mengerikan dari terbakarnya batubara di sana. Lubang itu ternyata mengeluarkan gas karbon monooksida yang beracun.
Pemerintah federal pun segera mengeluarkan dana 42 juta dollar untuk memindahkan sisa penduduk yang masih bertahan di sana, dan secara resmi menutup kota tersebut. Jalur utama untuk keluar dan masuk ke kota itu ditutup, karena tanah-tanah yang terbuka di sana mengeluarkan gas putih beracun. Seiring dengan itu, panasnya api yang ditimbulkan batubara yang terbakar mulai melalap sisa-sisa rumah dan peradaban yang semula berdiri di Centralia.
Kadykchan, Rusia
Tak jauh beda dengan Centralia, Kadykchan adalah kota penghasil batubara. Kadykchan mulai dibangun seusai Perang Dunia II, dan para pekerja mulai berdatangan ke sana untuk menjadi penambang batubara.
Sampai kemudian, pada 1996, terjadi kecelakaan. Tambang batubara itu meledak, dan menewaskan 6 orang pekerja. Kecelakaan itu diperkirakan belum akan berhenti—ada kemungkinan ledakan masih akan terjadi. Untuk menghindarkan kemungkinan yang lebih parah, tambang batubara itu pun ditutup, dan 12.000 penduduk yang ada di sana diungsikan ke tempat lain. Sejak itu, Kadykchan menjadi kota mati.
Humberstone dan Santa Laura, Chili
Humberstone dan Santa Laura adalah kota yang bersebelahan, yang telah berdiri sejak tahun 1862. Keduanya merupakan pusat penambangan nitrat terbesar di Chili. Tambang nitrat itu pula yang menjadikan kedua kota tersebut makmur, dan penduduknya hidup dengan berlimpah kekayaan. Para era 1930 dan 1940-an, ketika nitrat mengalami booming, penduduk Humberstone dan Santa Laura benar-benar berlimpah kemewahan dari hasil bumi mereka.
Dua kota itu tidak hanya menjadi sumber tambang nitrat, tapi juga menjadi tempat pengolahan nitrat yang berhasil. Pada masa itu, nitrat adalah unsur terpenting dalam proses pembuatan pupuk. Produksi nitrat mereka pun tidak hanya menyuplai kebutuhan di Chili, tapi juga di luar negeri.
Sampai kemudian, pada akhir 1930-an, nitrat sintetis mulai diciptakan. Semula, kelahiran nitrat sintetis belum terlalu berpengaruh. Tetapi, seiring waktu, harga nitrat sintetis semakin murah, hingga permintaan terhadap produksi nitrat sintetis semakin banyak. Itu merupakan awal keruntuhan Humberstone dan Santa Laura yang semula berjaya dengan tambang nitrat alami mereka.
Tiga dekade kemudian, kejayaan Humberstone dan Santa Laura benar-benar meredup. Pada tahun 1961, kantor penambangan nitrat di dua kota itu secara resmi ditutup, dan para penduduknya mulai pergi mencari tempat baru yang lebih menjanjikan. Kini, yang tersisa dari kejayaan dua kota itu hanya tumpukan pasir, gurun, dan sekolah-sekolah serta museum yang telah ditinggalkan, sementara rumah-rumah para pekerja dan mesin-mesin pengolahan tampak teronggok tak terurus.
Di sana juga masih bisa dijumpai Hotel Humberstone dengan fasilitas kolam renangnya yang kini telah kering airnya, namun papan loncatnya masih tegak berdiri hingga kini. Pada 1970, pemerintah Chili menetapkan kedua kota itu sebagai monumen nasional, dan pada 2005 ditetapkan sebagai situs warisan budaya oleh Unesco.
Hmm… ada yang mau menambahkan?