Keramahan Tetangga Mempengaruhi Risiko Stroke Seseorang
https://www.belajarsampaimati.com/2013/11/keramahan-tetangga-mempengaruhi-risiko.html
Ilustrasi/kabarbuana.com |
Kita yang tinggal di lingkungan tradisional mungkin tidak mengalami kesulitan dalam hidup bertetangga, karena rata-rata orang saling mengenal, dan masing-masingnya juga biasa menunjukkan sikap ramah. Namun, di lingkungan atau komplek ultramodern, banyak orang yang tidak saling mengenal, bahkan pada tetangga sebelah rumah. Akibatnya, hubungan sosial mereka pun tidak bisa dibilang baik.
Dalam suatu studi yang secara khusus mempelajari hal ini, terungkap fakta yang cukup mencengangkan, bahwa ramah tidaknya tetangga di lingkungan sekitar mempengaruhi risiko stroke seseorang. Dalam penelitian itu disebutkan, risiko stroke karena tinggal bersebelahan dengan tetangga-tetangga yang ramah dan suka menolong, bisa turun drastis hingga 50 persen, atau setara dengan manfaat yang diperoleh seseorang yang tidak merokok.
Karena temuan yang mencengangkan itu, para peneliti pun secara khusus menyebut hal itu dengan istilah khusus, yaitu “neighborhood social cohesion”.
Eric Kim, salah satu peneliti, menyatakan, “Semakin Anda terkoneksi dengan tetangga dan lingkungan tempat tinggal Anda yang sehat dan aktif, maka Anda juga akan makin termotivasi untuk melakukan hal serupa. Sebaliknya, jika Anda tak punya ikatan yang kuat dengan orang-orang di sekitar tempat tinggal Anda, maka Anda pun jadi malas dan tidak mampu mengadopsi gaya hidup atau perilaku sehat.”
Penelitian itu dilakukan dengan mengamati partisipan berusia 50 tahun ke atas. Namun, meski begitu, para peneliti percaya bahwa efek “neighborhood social cohesion” juga bermanfaat bagi kesehatan generasi muda.
Geoffrey Greif, Ph.D, seorang pakar dan penulis buku Buddy System: Understanding Male Friendships, mengomentari hasil studi itu dengan pernyataan mendukung. Ia berkata bahwa menjalin pertemanan di masa kini bisa dibilang tidak semudah zaman dulu.
“Orang-orang dewasa zaman sekarang sudah dihadapkan pada begitu banyak orang—pasangannya, anak-anaknya, keluarga besar mereka—sehingga mereka kesulitan menjalin pertemanan dengan orang-orang di luar lingkaran itu,” ujarnya. “Studi ini jelas menunjukkan betapa orang yang memiliki teman bisa hidup lebih lama, lebih sehat, dan lebih bahagia.”
Lalu apa yang bisa dilakukan agar kita mudah akrab dengan tetangga?
Bagi orang-orang yang tinggal di lingkungan ultramodern yang asing satu sama lain, Geoffrey Greif menyarankan, “Cobalah ajak tetangga baru untuk mengobrol tentang pekarangan rumahnya. Hampir setiap orang cenderung suka membicarakan pekarangan rumah mereka. Dari sana, kembangkan pembicaraan, misalnya menanyakan tentang kabar-kabar lokal yang beredar. Toh Anda dan tetangga memiliki komunitas itu sebagai suatu kesamaan, dan inilah yang menjadi bibit dari pertemanan.”
Hmm… bagaimana menurutmu?
Dalam suatu studi yang secara khusus mempelajari hal ini, terungkap fakta yang cukup mencengangkan, bahwa ramah tidaknya tetangga di lingkungan sekitar mempengaruhi risiko stroke seseorang. Dalam penelitian itu disebutkan, risiko stroke karena tinggal bersebelahan dengan tetangga-tetangga yang ramah dan suka menolong, bisa turun drastis hingga 50 persen, atau setara dengan manfaat yang diperoleh seseorang yang tidak merokok.
Karena temuan yang mencengangkan itu, para peneliti pun secara khusus menyebut hal itu dengan istilah khusus, yaitu “neighborhood social cohesion”.
Eric Kim, salah satu peneliti, menyatakan, “Semakin Anda terkoneksi dengan tetangga dan lingkungan tempat tinggal Anda yang sehat dan aktif, maka Anda juga akan makin termotivasi untuk melakukan hal serupa. Sebaliknya, jika Anda tak punya ikatan yang kuat dengan orang-orang di sekitar tempat tinggal Anda, maka Anda pun jadi malas dan tidak mampu mengadopsi gaya hidup atau perilaku sehat.”
Penelitian itu dilakukan dengan mengamati partisipan berusia 50 tahun ke atas. Namun, meski begitu, para peneliti percaya bahwa efek “neighborhood social cohesion” juga bermanfaat bagi kesehatan generasi muda.
Geoffrey Greif, Ph.D, seorang pakar dan penulis buku Buddy System: Understanding Male Friendships, mengomentari hasil studi itu dengan pernyataan mendukung. Ia berkata bahwa menjalin pertemanan di masa kini bisa dibilang tidak semudah zaman dulu.
“Orang-orang dewasa zaman sekarang sudah dihadapkan pada begitu banyak orang—pasangannya, anak-anaknya, keluarga besar mereka—sehingga mereka kesulitan menjalin pertemanan dengan orang-orang di luar lingkaran itu,” ujarnya. “Studi ini jelas menunjukkan betapa orang yang memiliki teman bisa hidup lebih lama, lebih sehat, dan lebih bahagia.”
Lalu apa yang bisa dilakukan agar kita mudah akrab dengan tetangga?
Bagi orang-orang yang tinggal di lingkungan ultramodern yang asing satu sama lain, Geoffrey Greif menyarankan, “Cobalah ajak tetangga baru untuk mengobrol tentang pekarangan rumahnya. Hampir setiap orang cenderung suka membicarakan pekarangan rumah mereka. Dari sana, kembangkan pembicaraan, misalnya menanyakan tentang kabar-kabar lokal yang beredar. Toh Anda dan tetangga memiliki komunitas itu sebagai suatu kesamaan, dan inilah yang menjadi bibit dari pertemanan.”
Hmm… bagaimana menurutmu?