Siapakah Sutan Takdir Alisjahbana?
https://www.belajarsampaimati.com/2008/02/siapakah-sutan-takdir-alisjahbana.html
Ilustrasi/ekanursetia.blog |
STA bersekolah di Hogere Kweekschool di Bandung, kemudian melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di Jakarta (yang waktu itu masih bernama Batavia). Di Jakarta itulah STA melihat iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang waktu itu merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda.
Ia melamar ke sana dan diterima, dan sejak itulah ia memulai pergaulan dengan para intelektual Hindia Belanda. Salah satu rekan dekatnya waktu itu adalah Armijn Pane, yang kelak juga menjadi sastrawan besar Indonesia.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, STA menjadi penulis ahli yang menjabat sebagai ketua Komisi Bahasa. Dalam jabatannya itulah ia melakukan modernisasi bahasa Indonesia, sehingga dapat menjadi bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa.
Dialah yang pertama kali menulis Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia pada 1936, yang kemudian digunakan di negeri ini hingga berpuluh-puluh tahun kemudian.
Ketika Kantor Bahasa ditutup pada akhir Perang Dunia II, STA tetap mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia melalui majalah Pembina Bahasa yang diterbitkan dan dipimpinnya.
Sebelum kemerdekaan, ia mencetuskan Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo. Pada 1970, ia menjadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa Indonesia, dan inisiator Konferensi Pertama Bahasa-Bahasa Asia (29 September-1 Oktober 1967).
STA pernah menjadi redaktur majalah Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962).
Ia juga pernah menjadi guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar serta Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).
Beberapa karyanya yang terkenal di antaranya adalah “Tak Putus Dirundung Malang” (1929), “Dian Tak Kunjung Padam” (1932), “Layar Terkembang” (1936), dan “Anak Perawan di Sarang Penyamun” (1940). STA meninggal di Jakarta, pada 17 Juli 1994, dalam usia 86 tahun.
Hmm… ada yang mau menambahkan?